Oleh Ilham Nurwansah
Sarapan pagi tentu saja sangat nikmat jika ditemani nasi uduk. Dalam bahasa Sunda disebut wuduk. Menurut Kamus Basa Sunda Sacadibrata, wuduk yaitu nasi yang dikukus dengan santan kelapa, baik yang menggunakan kunyit ataupun tidak. Umumnya, dalam bahasa Indonesia disebut ‘nasi uduk’ untuk yang berwarna putih, sedangkan yang menggunakan kunyit berwarna dan kuning disebut ‘nasi kuning’.
Dalam proses pembacaan naskah gebang Sunda Kuna, berbahasa Jawa Kuna dan aksara Buda/Gunung/Jawa Kuna Kuadrat Barat, koleksi Perpusnas RI, yaitu Śikṣā Guru, ditemukan kata wuduk dalam penjelasan bagian sadrasa, yaitu enam jenis rasa.
°amlә hasәm· kasaya wuduk maḍura
Lawana, hasin
Kaduka, lawa
Krĕtta, pahit
Amĕla, hasĕm
Kasaya, wuduk
Maḍura, manis
Dalam kesusastraan Jawa Kuna setidaknya ada enam naskah yang di dalamnya tercatat kata wuduk, demikian yang ditemukan oleh Zoetmulder & Robson dalam Kamus Jawa Kuna – Indonesia (hlm. 1465). Adapun artinya yaitu ‘lemak’ dan ‘rasa manis’.
Keterangan itu tentu sangat cocok diterapkan kepada nasi uduk, karena selain berminyak karena dikukus dengan santan, juga terasa sari rasa manis. Tetapi, timbul rasa penasaran mengapa dalam teks Jawa Kuna yang berasal dari Sunda, pengertian wuduk dibedakan dari manis? Artinya, dua rasa yang berbeda. Mungkinkah wuduk adalah rasa gurih atau umami? Selain itu, kaṣāya sendiri dalam Jawa Kuna berarti rasa sepet. Mengapa artinya bisa berbeda?