Aksara Buda atau Aksara Gunung diketahui digunakan pada naskah yang ditulis di atas lontar atau gebang (dulu dianggap nipah). Penamaan aksara Buda diberikan oleh Molen (1983:117 dalam Ruhaliah, 2012-10) sedangkan Pigeaud (1970:53-54 dalam Ruhaliah, 2012:10) menyebutnya aksara Buda Gunung. Sebutan ini mengacu kepada asal naskah-naskah, yang diperoleh dari daerah terpencil di perbukitan atau daerah pegunungan.
Jenis aksara ini dinamakan aksara Buda karena dianggap berasal dari masa sebelum islamisasi, atau pada zaman Buda. Sehingga, tulisan yang dipakai dalam masa ini disebut aksara Buda. Ada kemungkinan aksara ini dipergunakan untuk menuliskan sesuatu yang dianggap rahasia atau sakral guna mengindarkan adanya pencemaran terhadap teks yang dianggap keramat tersebut (Ekadjati dkk, 2000:4-5 dalam Ruhaliah, 2012:10).
Aksara Buda yang terdapat pada naskah berbahan lontar ditulis dengan cara digorés. Hal ini dimungkinan dengan menggunakan alat khusus yaitu pengutik, atau dalam istilah Sunda disebut péso pangot. Contoh yang baik penggunaan aksara Buda pada naskah Sunda kuna berbahan lontar yaitu naskah Kala Purbaka, koleksi Perpustakaan Nasional RI.

Naskah Kala Purbaka (dok. Aditia Gunawan)
Sedangkan aksara Buda yang terdapat pada naskah berbahan nipah atau gebang ditulis menggunakan tinta organik. Menurut Holle (1882:17) tinta ini berasal dari hasil olahan nagasari dan damarsela, sedangkan pena yang digunakan adalah harupat (batang lidi pohon aren). Contoh naskah nipah/gebang Sunda kuna yang menggunakan aksara Buda di antaranya Serat Catur Bumi, Sanghyang Raga Déwata, dan Sanghyang Siksa Kandang Karesian (630).

Naskah Serat Catur Bumi (Dok. Dr. Ruhaliah)

Naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian (L 630) (dok. Aditia Gunawan)
Pendapat Edi S. Ekadjati yang menganggap bahwa aksara jenis ini dianggap memiliki tingkat kekeramatan yang tinggi, disanggah oleh keterangan pada naskah Sanghyang Sasana Maha Guru. Berikut ini téks SSMG tentang tingkat kesakralan sebuah naskah:
- /7v/…diturunkeun deui, sa(s)tra mu(ng)gu ring taal, dingaranan ta ya carik, aya éta meunang utama, kéna lain pikabuyutaneun. Diturunkeun deui, sa(s)tra mu(ng)gu ring gebang, dingara(n)nan ta ya ceumeung. Ini iña pikabuyutaneun…
- …diturunkan lagi, tulisan di atas di atas daun lontar, dinamakan goresan ‘carik’, ada mendapatkan keutamaan, karena bukan untuk kabuyutan. Diturunkan lagi, tulisan di atas gebang, dinamakan hitam ‘ceumeung’, inilah yang digunakan untuk kabuyutan… (Gunawan, 2009:112-113).
Dalam téks tersebut terdapat dua tingkatan kesakralan naskah. Naskah pertama yaitu yang dituliskan pada daun lontar. Aksara yang digunakan pada naskah lontar hingga saat ini dapat dipastikan ditulis dengan cara digores dengan benda runcing. Naskah lontar digunakan untuk mendapat keutamaan (manfaat). Mungkin maksudnya sebagai bacaan atau pedoman sehari-hari. Sedangkan tulisan di atas gebang (nipah) yang dinamakan ceumeung ‘hitam’ lebih digunakan sebagai kabuyutan (mandala). Ceumeung mengingatkan kita pada jenis aksara yang dituliskan dengan tinta, yaitu aksara Buda. Kabuyutan atau mandala adalah suatu hal yang disakralkan. Dengan demikian isi dari teks yang menggunakan aksara Buda memiliki kemungkinan yang kecil untuk tercemar dari kesalahan-kesalahan, baik teknis maupun nonteknis.
NSK nipah seluruhnya ditulis menggunakan aksara Buda Gunung dan hampir seluruhnya berbentuk prosa didaktis, yang berisi risalah keagamaan yang diajarkan sang pandita kepada sang séwaka darma. Hal ini diperkuat dengan pengaruh penggunaan bahasa Jawa kuna, sebagai bahasa pengantar keagamaan, yang cukup dominan dalam naskah nipah (Holil & Gunawan, 2010:114-115). Berdasarkan hal ini, dapat dimengerti mengapa naskah-naskah gebang dijadikan sebagai kabuyutan atau mandala (pikabuyutaneun).
Aksara Buda/Gunung penggunaannya banyak ditemukan pada naskah-naskah kelompok Merapi-Merbabu, koleksi PNRI. Baik yang ditulis pada lontar maupun pada nipah. Naskah tersebut diperoleh dari daerah gunung Merapi-Merbabu, wilayah Jawa Tengah. Bahasa yang digunakannya yaitu Jawa kuna dan berisi risalah keagaman. Meski begitu, naskah-naskah Sunda kuna beraksara Buda/Gunung dapat dipastikan seluruhnya diperoleh dari daerah Jawa Barat.
Ada sebuah fakta menarik, bahwa naskah nipah tertua yang telah ditemukan dan diteliti hingga saat ini menggunakan aksara Buda Gunung. Naskah itu berjudul Arjunawiwaha, bertarikh tahun 1334 menggunakan bahasa Jawa kuna dan memiliki metrum kekawin. Naskah Arjunawiwaha adalah koleksi Perpustakaan Nasional RI yang dikelompokkan ke dalam naskah Merapi-Merbabu. Tetapi uniknya, naskah tersebut justru berasal dari Bandung, Jawa Barat. Sehingga masih termasuk ke dalam khasanah pernaskahan Sunda kuna. Naskah tertua lainnya yang beraksara Buda Gunung adalah Kunjarakarna yang juga berasal dari daerah Jawa Barat (Sunda). Naskah tersebut berbentuk prosa menggunakan bahasa Jawa kuna.

Naskah Kunjarakarna (Dok. www.id.wikipeda.org)