Aksara

🇮🇩 | 🇬🇧

Sunda kuna

Aksara Sunda kuna memiliki tipe dasar Aksara Pallawa Lanjut. Aksara tersebut memiliki kemiripan bentuk dengan aksara Tibet dan Punjab (band. Holle, 1877), dengan beberapa ciri tipologi dara pengaruh model aksara prasasti-prasasti zaman Tarumanagara, sebelum mencapai taraf modifikasi bentuk khasnya. Hal ini nampak seperti aksara yang dipakai pada prasasti-prasasti dan naskah-naskah Sunda kuna berbahan lontar dan bambu abad ke -14 hingga abad ke-18 Masehi.

Naskah-naskah yang mengunakan aksara Sunda kuna di antaranya tersimpan di Perpustakaan Nasional RI, Jakarta, yaitu: Carita Parahyangan, Fragmen Carita Parahyangan, Carita Ratu Pakuan, Sri Ajnyana, Purnawijaya, Sangyang Raga Dewata, Sanghyang Hayu, Sanghyang Siksa Kandang Karesian, Serat Buwana Pitu, Serat Catur Bumi, Séwaka Darma, Amanat Galunggung, Darmajati, Jatiniskala, Sanghyang Sasana Maha Guru, Tutur Buwana, dan Sanghyang Swawar Cinta; di Museum Negeri Sri Baduga Jawa Barat, Bandung, yaitu Pantun Ramayana dan beberapa naskah lainnya di Kabuyutan Ciburuy, Garut, antara lain: Séwaka Darma, Kawih Katanian, Pantun Ramayana, Bima Swarga dan kumpulan Mantra.

Hasil identifikasi K.F. Holle (1882) terhadap prasasti dan naskah-naskah Sunda kuna (terutama yang kini menjadi koleksi PNRI) dinyatakan bahwa aksara yang digunakannya itu sebagai modern schrift uit de Soenda-landen, en niet meer dan +- 1500 jaar oud ‘aksara modern dari Tatar Sunda, dan berusia tidak lebih dari sekitar 1500 tahun’. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa aksara Sunda kuna adalah hasil daya cipta atau kreasi orang Sunda.

Aksara Sunda kuna yang digunakan pada naskah-naskah Sunda kuna dengan bahasa Sunda kuna tampak pada contoh gambar berikut:

Naskah Kawih Panyaraman (Sewaka Darma) (dok. Perpusnas RI)
Naskah Kawih Panyaraman (Sewaka Darma) (dok. Perpusnas RI)
Naskah Pakeling (dok. Perpusnas)
Naskah Pakeling (dok. Perpusnas)

Aksara Sunda kuna selain dipakai untuk menuliskan bahasa Sunda kuna juga pernah digunakan untuk menuliskan bahasa Arab dan bahasa Jawa (Cirebon) sehubungan dengan pengembangan syiar Islam di Tatar Sunda. Berikut ini contoh naskahnya:

(v.1) Pangérra(n) Sumanagara, titi. Asahhadu sahé karbanyar suci alhhéka rasululah, banyu suci metu saking ti mulah karsa allah- (v.2) hu, hing dina saptu. Usali parilan anglalohor ri areba urakatin adaan imaman lilah ita alah, (Allah) huhabar. U(sa)li parelan (v.3) asri areba urakaatin adaan (imaman) lilah hita alah. Alah hu A(k)bar. Usali parelan magribi sarasa rakatin. (Foto dok. Tim Unicode Aksara Sunda)
(v.1) Pangérra(n) Sumanagara, titi. Asahhadu sahé karbanyar suci alhhéka rasululah, banyu suci metu saking ti mulah karsa allah- (v.2) hu, hing dina saptu. Usali parilan anglalohor ri areba urakatin adaan imaman lilah ita alah, (Allah) huhabar. U(sa)li parelan (v.3) asri areba urakaatin adaan (imaman) lilah hita alah. Alah hu A(k)bar. Usali parelan magribi sarasa rakatin. (Foto dok. Tim Unicode Aksara Sunda)

Selain ditulis pada media daun lontar, aksara Sunda kuna juga dituliskan pada media bambu. Salah satu naskah jenis ini yaitu Sanghyang Jati Maha Pitutur. koleksi Perpusnas RI.

Sanghyang Jati Maha Pitutur (dok. Perpusnas)
Sanghyang Jati Maha Pitutur (dok. Perpusnas)

Aksara Sunda kuna yang ditulis pada naskah yang dianggap paling muda ditemukan pada naskah Carita Waruga Guru. Naskah ini ditulis pada akhir abad ke-18 Masehi pada bahan kertas daluang.

Aksara Sunda pada naskah Waruga Guru (foto dok. Tim Unicode Aksara Sunda)
Naskah Waruga Guru (foto dok. Tim Unicode Aksara Sunda)

Buda/Gunung

Aksara Buda atau Aksara Gunung diketahui digunakan pada naskah yang ditulis di atas lontar atau gebang (dulu dianggap nipah). Penamaan aksara Buda diberikan oleh Molen (1983:117 dalam Ruhaliah, 2012-10) sedangkan Pigeaud (1970:53-54 dalam Ruhaliah, 2012:10) menyebutnya aksara Buda Gunung. Sebutan ini mengacu kepada asal naskah-naskah, yang diperoleh dari daerah terpencil di perbukitan atau daerah pegunungan.

Jenis aksara ini dinamakan aksara Buda karena dianggap berasal dari masa sebelum islamisasi, atau pada zaman Buda. Sehingga, tulisan yang dipakai dalam masa ini disebut aksara Buda. Ada kemungkinan aksara ini dipergunakan untuk menuliskan sesuatu yang dianggap rahasia atau sakral guna mengindarkan adanya pencemaran terhadap teks yang dianggap keramat tersebut (Ekadjati dkk, 2000:4-5 dalam Ruhaliah, 2012:10).

Aksara Buda yang terdapat pada naskah berbahan lontar ditulis dengan cara digorés. Hal ini dimungkinan dengan menggunakan alat khusus yaitu pengutik, atau dalam istilah Sunda disebut péso pangot. Contoh yang baik penggunaan aksara Buda pada naskah Sunda kuna berbahan lontar yaitu naskah Kala Purbaka, koleksi Perpustakaan Nasional RI.

Kala Purbaka (dok. Aditia Gunawan)
Naskah Kala Purbaka (dok. Aditia Gunawan)

Sedangkan aksara Buda yang terdapat pada naskah berbahan nipah atau gebang ditulis menggunakan tinta organik. Menurut Holle (1882:17) tinta ini berasal dari hasil olahan nagasari dan damarsela, sedangkan pena yang digunakan adalah harupat (batang lidi pohon aren). Contoh naskah nipah/gebang Sunda kuna yang menggunakan aksara Buda di antaranya Serat Catur Bumi, Sanghyang Raga Déwata, dan Sanghyang Siksa Kandang Karesian (630).

Naskah Sanghyang Raga Dewata (Dok. Dr. Ruhaliah)
Naskah Serat Catur Bumi (Dok. Dr. Ruhaliah)
Sanghyang Siksa Kandang Karesian (L 630) (dok. Aditia Gunawan)
Naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian (L 630) (dok. Aditia Gunawan)

Pendapat Edi S. Ekadjati yang menganggap bahwa aksara jenis ini dianggap memiliki tingkat kekeramatan yang tinggi, disanggah oleh keterangan pada naskah Sanghyang Sasana Maha Guru. Berikut ini téks SSMG tentang tingkat kesakralan sebuah naskah:

  • /7v/…diturunkeun deui, sa(s)tra mu(ng)gu ring taal, dingaranan ta ya carik, aya éta meunang utama, kéna lain pikabuyutaneun. Diturunkeun deui, sa(s)tra mu(ng)gu ring gebang, dingara(n)nan ta ya ceumeung. Ini iña pikabuyutaneun…
  • …diturunkan lagi, tulisan di atas di atas daun lontar, dinamakan goresan ‘carik’, ada mendapatkan keutamaan, karena bukan untuk kabuyutan. Diturunkan lagi, tulisan di atas gebang, dinamakan hitam ‘ceumeung’, inilah yang digunakan untuk kabuyutan… (Gunawan, 2009:112-113).

Dalam téks tersebut terdapat dua tingkatan kesakralan naskah. Naskah pertama yaitu yang dituliskan pada daun lontar. Aksara yang digunakan pada naskah lontar hingga saat ini dapat dipastikan ditulis dengan cara digores dengan benda runcing. Naskah lontar digunakan untuk mendapat keutamaan (manfaat). Mungkin maksudnya sebagai bacaan atau pedoman sehari-hari. Sedangkan tulisan di atas gebang (nipah) yang dinamakan ceumeung ‘hitam’ lebih digunakan sebagai kabuyutan (mandala). Ceumeung mengingatkan kita pada jenis aksara yang dituliskan dengan tinta, yaitu aksara Buda. Kabuyutan atau mandala adalah suatu hal yang disakralkan. Dengan demikian isi dari teks yang menggunakan aksara Buda memiliki kemungkinan yang kecil untuk tercemar dari kesalahan-kesalahan, baik teknis maupun nonteknis.

NSK nipah seluruhnya ditulis menggunakan aksara Buda Gunung dan hampir seluruhnya berbentuk prosa didaktis, yang berisi risalah keagamaan yang diajarkan sang pandita kepada sang séwaka darma. Hal ini diperkuat dengan pengaruh penggunaan bahasa Jawa kuna, sebagai bahasa pengantar keagamaan, yang cukup dominan dalam naskah nipah (Holil & Gunawan, 2010:114-115). Berdasarkan hal ini, dapat dimengerti mengapa naskah-naskah gebang dijadikan sebagai kabuyutan atau mandala (pikabuyutaneun).

Aksara Buda/Gunung penggunaannya banyak ditemukan pada naskah-naskah kelompok Merapi-Merbabu, koleksi PNRI. Baik yang ditulis pada lontar maupun pada nipah. Naskah tersebut diperoleh dari daerah gunung Merapi-Merbabu, wilayah Jawa Tengah. Bahasa yang digunakannya yaitu Jawa kuna dan berisi risalah keagaman. Meski begitu, naskah-naskah Sunda kuna beraksara Buda/Gunung dapat dipastikan seluruhnya diperoleh dari daerah Jawa Barat.

Ada sebuah fakta menarik, bahwa naskah nipah tertua yang telah ditemukan dan diteliti hingga saat ini menggunakan aksara Buda Gunung. Naskah itu berjudul Arjunawiwaha, bertarikh tahun 1334 menggunakan bahasa Jawa kuna dan memiliki metrum kekawin. Naskah Arjunawiwaha adalah koleksi Perpustakaan Nasional RI yang dikelompokkan ke dalam naskah Merapi-Merbabu. Tetapi uniknya, naskah tersebut justru berasal dari Bandung, Jawa Barat. Sehingga masih termasuk ke dalam khasanah pernaskahan Sunda kuna. Naskah tertua lainnya yang beraksara Buda Gunung adalah Kunjarakarna yang juga berasal dari daerah Jawa Barat (Sunda). Naskah tersebut berbentuk prosa menggunakan bahasa Jawa kuna.

Naskah Kunjarakarna (Dok. www.id.wikipeda.org)
Naskah Kunjarakarna (Dok. www.id.wikipeda.org)

Jawa-Cacarakan

AKSARA CACARAKAN

Salah satu model aksara yang pernah digunakan di tatar Sunda yaitu aksara Cacarakan. Dalam bahasa Sunda “cacarakan” berarti meniru-niru aksara Carakan Jawa. Model aksara ini pernah digunakan abad ke-11 dan abad ke-17 hingga abad ke-19 Masehi atau selama kira-kira 4 abad.

Penamaan aksara Cacarakan menjadi aksara Sunda berasal dari buku karangan G.J. Grashuis berjudul “Handleiding voor Aanleren van het Soendaneesch Letterschrift” (Buku Petunjuk untuk Belajar Aksara Sunda) yang terbit tahun 1860 dan berisi pedoman untuk menuliskan bahasa Sunda dengan menggunakan aksara Cacarakan. Dalam perkembangannya, oleh karena itu, aksara Cacarakan disebut pula aksara Sunda. Jadi penamaan tersebut dimulai oleh Grashuis, seorang Belanda yang mempelajari dan menulis buku tentang bahasa Sunda.

Penamaan selanjutnya oleh orang Sunda sesungguhnya merupakan “salah kaprah”, karena penamaan yang benar adalah aksara Cacarakan, sesuai dengan bentuknya meniru dari aksara Carakan (aksara Jawa). Dalam hal aksara Cacarakan persentase hasil kreasi orang Sunda hanya sebesar 10%, yakni berupa pengurangan aksara dan sistem pengaksaraannya sesuai kekhasan lafal/bunyi bahasa Sunda yang jumlahnya sedikit saja.

Pada aksara swara Cacarakan huruf /i/ ditulis dengan rangkaian huruf /a/ ditambahkan wulu (Jw) atau panghulu (Sd). Dalam abjad Carakan Jawa tidak digunakan huruf vokal khusus untuk bunyi /e/ (pepet), sedangkan pada Cacarakan huruf /e/ pepet ditulis secara mandiri dengan rangkaian huruf /a/ ditambahkan pepet (Jw) atau pamepet (Sd). Huruf vokal lain yang dimunculkan yaitu untuk menggambarkan bunyi [ö] atau huruf /eu/ yang cukup dominan digunakan dalam bahasa Sunda. Huruf /eu/ ditulis dengan rangkaian huruf /a/ ditambahkan tarung (Jw) dan pepet (Jw) atau cukup disebut dengan paneuleung dalam istilah Cacarakan Sunda.

Selain dari penggunaan huruf yang berbeda, kaidah penulisan kedua aksara ini juga memiliki perbedaan, yaitu untuk penulisan huruf vokal di awal suatu kata umum. Pada aksara Carakan Jawa untuk menuliskan kata dengan bunyi vokal di awal, dapat diwakili dengan huruf /ha/ yang dibaca menjadi /a/. Misalnya kata “aksara” ditulis /haksara/ pada aksara Carakan, sedangkan pembacaannya adalah aksara. Untuk menulis kata yang sama “aksara” dengan aksara Cacarakan menjadi /aksara/ (dengan vokal mandiri) dan tetap dibaca aksara. Di bawah ini ditampilkan perbedaan penulisan huruf vokal di awal kata:

Selain pada huruf fokal, modifikasi juga terdapat pada huruf-huruf konsonan. Carakan Jawa memiliki 20 konsonan yang digunakan sedangkan pada Cacarakan Sunda hanya 18 huruf saja yang digunakan, mengingat bahwa dua bunyi pada bahasa Jawa (“dha” dan “tha”) tidak digunakan dalam bahasa Sunda. Untuk lebih jelas melihat perbedaannya, di bawah ini ditampilkan tabel aksara ngalagena (huruf konsonan) Cacarakan Sunda dan Carakan Jawa.

ngalagena

Dari tabel dapat terlihat bahwa huruf /dha/ pada Carakan (Jw) digunakan untuk mewakili bunyi “da” pada Cacarakan (Sd). Sedangkan untuk menghasilkan bunyi “nya”, Cacarakan (Sd) menggunakan rangkaian huruf /na/ ditambah pengkal (Jw).

Aksara Cacarakan menggunakan huruf pasangan yang sama dengan Carakan, dengan kaidah penulisan yang sama. Hanya saja berbeda saat pemberian sandhangan (Jw, Sd: rarangkén) digunakan kaidah yang telah dimodifikasi untuk mengkasilkan bunyi vokal bahasa Sunda.

Di bawah ini ditampilkan contoh penggunaan huruf konsonan dalam rangkaian kata.

conto kecap

Contoh penulisan lainnya:

Aksara Cacarakan dengan kaidah di atas digunakan untuk menuliskan bahasa Sunda modern, setidaknya semenjak aksara ini diperkenalkan kepada masyarakat Sunda sekitar abad ke 17 pada masa pemerintahan Belanda. Sedangkan aksara Carakan yang digunakan di wilayah Sunda untuk menuliskan bahasa Jawa Kuna, masih menggunakan kaidah penulisan dan ejahan sesuai dengan aslinya dari Jawa, seperti yang ditemukan pada naskah-naskah Wangsakerta dari Cirebon.

Saat ini, meskipun telah ditetapkan bahwa aksara Sunda adalah tipe aksara Sunda kuna, tetapi di beberapa daerah aksara Cacarakan masih tetap digunakan. Contohnya seperti di daerah kabupaten Kuningan, yang menggunakan aksara Cacarakan untuk papan nama-nama jalan kota. Di kampung adat Cireundeu, Cimahi, aksara Cacarakan digunakan untuk papan nama di gerbang utama.

Unduh panduan ringkas baca-tulis cacarakan:
Panduan Cacarakan Sunda.pdf

Referensi
Pustaka:

  • Tim Unicode Aksara Sunda. 2008. Direktori Aksara Sunda untuk Unicode. Bandung: Dinas Pendidikan Pemprov Jawa Barat
  • Mulyana, Nana dkk. 2008. Katalog Naskah Kuno Museum Negeri Sri Baduga. Bandung: Balai Pengelolaan Museum Sri Baduga

Internet:
www.hanacara.fateback.com
www.id.wikipedia.org

AKSARA CARAKAN (JAWA) DALAM NASKAH SUNDA

Aksara Carakan (cacarakan Jawa) adalah aksara yang umumnya juga digunakan pada naskah-naskah Sunda. Aksara ini terutama digunakan untuk merekam bahasa Jawa, Jawa kuna dan Jawa Cirebonan.

Sistem penulisan yang digunakan pada aksara ini sama persis dengan penulisan aksara Jawa pada umumnya. Media yang digunakan sebagai alas tulis naskah beraksara carakan Jawa ini cukup berragam. Mulai dari lontar, kertas Eropa, dan kertas lokal (daluang). Tetapi sebagian naskah yang menggunakan aksara ini di daerah Sunda kebanyakan berbahan kertas.

Penulisan aksara Carakan pada naskah bisa saja mengalami berbagai variasi. Hal ini karena naskah ditulis secara manual sehingga menimbulkan ciri khas penulis dalam beberapa karakter aksara. Dengan demikian sering ditemukan beberapa karakter aksara yang berbeda dari aksara standarnya. Berikut ini tampilan beberapa naskah Sunda yang menggunakan aksara model Cacarakan Jawa.

wangsakerta
Naskah Wangsakerta, Cirebon (Dok. Museum Sribaduga, Bandung)
Naskah Lontar dari daerah Ciranggon, Karawang (Dok. Alin)
Naskah Lontar dari daerah Ciranggon, Karawang (Dok. Alin)
majalengka
Naskah Primbon dari Majalengka (Dok. Iis Sugiarti)

Arab-Pégon

Aksara Pegon (disebut juga Arab-Sunda atau Arab-Pégon) yaitu aksara Arab (Huruf Hijaiyyah) yang dimodifikasi dan disesuaikan dengan ejaan bahasa Sunda. Aksara-aksara Pegon yang digunakan pada naskah Sunda ada yang sama dengan huruf Hijaiyyah, tapi ada juga yang berbeda. Beberap naskah Sunda yang bersumber dari naskah Melayu memiliki beberapa kesamaan cara penulisan, di samping perbedaan karena kekhasan ejaannya.

Perbedaan aksara Pegon antara naskah Sunda dengan naskah Melayu di antaranya:

  1. Aksara Arab (Pegon) pada naskah Sunda menggunakan tanda vokal sedangkan pada naskah Melayu umumnya tidak diberi tanda vokal (harakat);
  2. Konsonan /ny/ pada naskah Melayu menggunakan huruf ن /nun/ yang diberi tambahan titik, ڽ. Sedangkan, pada naskah Sunda menggunakan huruf /ya/ yang diberi tambahan titik, ۑ.
  3. Pada naskah Melayu dibedakan antara fa  ( ف ) dengan pa  (ڤ ), sedangkan pada naskah Sunda ditulis sama, yaitu (ف).

Untuk tanda vokal mandiri, yaitu a, i, dan u, kadang-kadang digunakan aksara hamzah (ﺃ , ﺌ, ﺄ ) dan ﻉ. Di  samping  itu,  juga terdapat kekhasan di dalam penulisan suku kata. Suku kata yang terdiri satu buah vokal kadang ditulis menggunakan aksara ﻱ kadang ﻭ. Penggunaan kedua aksara tersebut tergantung kepada pelafalannya,   misalnya  (kurniya),  (iyeu),  (cariyos), (rayi),  (nyiyeun),  (siya),   (duwa),  (sawiyos), dan sebagainya. Kata-kata demikian dalam kaidah penulisan bahasa Sunda umumnya ditulis kurnia, ieu, carios, rai, nyieun, sia, dua, sawios. Pada naskah Sunda lainnya kata ulang umumnya ditulis menggunakan angka dua, begitu juga dengan penulisan suku kata yang sama, misalnya pada kata  (paneda-neda), (ka karuhun).

Aksara Pegon yang digunakan dalam naskah-naskah Sunda, tidak semua termasuk ke dalam huruf Hijaiyyah, yaitu /c/ (چ), /g/ (ڳ), /ng/ (ڠ) dan /ny/ (ۑ). Misalnya digunakan pada kata  (carios),گفِڠ  (kaping), گَسَڠڳکٓنْ (kasanggakeun), کُرِڠ (kuring), دِدُۑَ (di dunya). Sedangkan huruf Hijaiyyah yang jarang digunakan dalam penulisan naskah Sunda yaitu  /dz/ (ظ) dan /sy/ ( ش ).

Huruf wau ( و ) dan ra (ر ) di dalam huruf Hijaiyyah tidak boleh ditulis di tengah kata, namun pada teks naskah Sunda (dan naskah Sunda lainnya) wau dan ra ini banyak ditulis di tengah kata, biasanya bila wau dan ra ini diikuti dengan ha (ه), misalnya  (nyerat).

Contoh naskah Sunda yang menggunakan aksara Pegon.

Wawacan Nabi Medal (copy, koleksi Departemen Pendidikan Bahasa Daerah, UPI)
Wawacan Iblis (koleksi Perpustakaan Nasional RI)

Referensi:

  • Ruhaliah. 2012. Pedoman Ringkas Transliterasi, Edisi, dan Terjemahan: Aksara Sunda Kuna, Pegon, Buda, Cacarakan, dan Pegon. Bandung: Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah, FBPS, UPI.
  • Ruhaliah. 2018. Wawacan: Sebuah Genre Sastra Sunda. Bandung: Pustaka Jaya.

Latin

Aksara Latin digunakan sebagai salah satu sistem penulisan pada naskah-naskah Sunda klasik. Aksara ini digunakan untuk menulis surat, prosa, maupun puisi seiring dengan masuknya pengaruh budaya dan politik Belanda pada sekitar abad ke-18 dan terus digunakan sampai sekarang.

Wawacan Babad Sumedang (koleksi Perpusnas RI, kode Plt. 29 Peti 121)
Updated: 23 Februari 2021 — 12:48