1. Pendahuluan
Naskah sebagai salah satu peninggalan masa lampau di dalamnya mengandung nilai-nilai kemanusiaan yang merupakan hasil karya, karsa, dan cipta para nenek moyang. Naskah pun dapat dianggap sebagai salah satu sumber yang memiliki otoritas dalam memberikan berbagai informasi mengenai masa lampau. Dalam hal ini yang dimaksud dengan naskah adalah peninggalan dalam bentuk tulisan tangan (Lubis: 1995: 22).
Naskah di Nusantara jumlahnya cukup melimpah bahkan untuk naskah Sunda saja, saat ini terkumpul dalam berbagai perpustakaan di dunia hampir mendekati angka 1.500 buah naskah (Henri Chambert Loir dan Oman Faturahman, 1999: 181). Jumlah tersebut kemungkinan akan semakin bertambah bila mengingat masih ada naskah-naskah yang menjadi koleksi perseorangan (Ekadjati, 1988). Namun di balik itu, naskah pun akan berangsur-angsur berkurang karena materi naskah bukanlah bahan yang tahan lama apalagi kondisi iklim Indonesia yang tropis menyebabkan mudah terjadinya pelapukan. Oleh karena itu, naskah-naskah tersebut perlu secepatnya mendapatkan uluran tangan dari para peneliti agar kandungannya dapat diselamatkan dari kepunahan karena dimakan usia.
Naskah Sunda adalah naskah yang disusun dan ditulis di wilayah Sunda (kini Jawa Barat dan Banten) dan naskah-naskah yang berisi cerita atau uraian yang bertalian dengan wilayah dan orang Sunda sebagai inti dan pokok naskah (Ekadjati, 1988: 4). Namun menurut Kalsum (2006) membuat batasan secara tepat tentang istilah naskah Sunda ini sangat sulit karena di dalamnya terkandung indikator meliputi, etnis, bahasa, dan wilayah.
Menurut Ekadjati (1988: 34 – 151) isi naskah Sunda di Museum Nasional – Jakarta dan Negeri Belanda dikelompokkan ke dalam 12 jenis yaitu: (1) agama, (2) uraian tentang kebahasaan, (3) hukum/aturan, (4) kemasyarakatan, (5) mitologi, (6) pendidikan, (7) pengetahuan, (8) primbon, (9) sastra, (10) sastra sejarah, (11) sejarah, dan (12) seni. Kemudian isi naskah-naskah Jawa Barat yang berada pada 5 lembaga yaitu: (ÉFEO (École Française d’ Extrème-Orient) di Bandung; Keraton-keraton di Cirebon; Universitas Padjadjaran di Bandung; Museum Jawa Barat di Bandung; Museum Geusan Ulun di Sumedang) dikelompokkan ke dalam 6 jenis meliputi: (1) sejarah; mencakup naskah-naskah dalam kategori sejarah Jawa Barat, sejarah Jawa (Tengah dan Timur), dan Mitologi, (2) Islam; mencakup naskah-naskah Al Quran, cerita Islam, fikih, tasawuf, manakib, tauhid, adab, dan doa, (3) sastra, (4) adat-istiadat, (5) primbon dan mujarobat, (6) lain-lain (Ekajati & Undang A. Darsa 1999).
Bila dilihat dari bahan naskah, untuk naskah Sunda dapat dibagi menjadi (1) lontar, (2) nipah, (3) enau (4) kelapa, dan (5) kertas. Kertas merupakan paling banyak digunakan sebagi bahan naskah (Ekadjati, 2: 1988). Selanjutnya bila dilihat dari aksaranya, naskah Sunda yang berasal dari sebelum abad ke-17 menggunakan aksara Sunda Kuno; aksara Pegon dan/atau Arab untuk naskah-naskah sekitar abad ke-18; aksara Jawa (Cacarakan) bagi naskah-naskah yang dibuat pada abad ke-17, serta huruf Latin bagi naskah-naskah yang bersal dari abad ke-19 (Ekadjati, 9: 1988).
2. Naskah Bima Swarga
NaskahBima Swarga (BS) berdasarkan hasil studi pustaka ternyata terdapat tujuh naskah, 6 buah pada Katalog Naskah Merapi Merbabu (KNMM) dan 1 buah pada Katalog Naskah Sunda (KNS). Naskah-naskah KNMM dan KNS seluruhnya (saat ini) berada di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI). Naskah BS dalam KNMM adalah: Naskah Merapi Merbabu 1) Peti 5. Rol 865; 2) Peti 1. Rol 865/ 8; 3) Peti 9. Rol 857/ 6; 4) Peti 1. Rol 862/ 2, pada peti ini terdapat 3 naskah BS terdapat pada 234 I; 5) Peti 1. Rol 866/ 5; dan 6) Peti 16. Rol 874/12. Naskah-naskah BS yang terdapat dalam KNMM seluruhnya ditulis dalam aksara Buda/Gunung dan bahasa Jawa Kuno. Selanjutnya naskah BS pada KNS terdapat pada poin m Naskah Lontar nomor urut 26, Peti 16 dengan nomor inventaris 623. Pada KNS ditulis dengan aksara Sunda Kuno dan bahasa Jawa Kuno(?).
Adapun yang dimaksud dengan aksara Sunda Kuno adalah aksara yang digunakan pada prasasti-prasasti dan piagam (serta naskah)
jaman kerajaan Sunda (yang tertua ditemukan pada prasasti Kawali abad XIV) (Darsa. dkk, 2007: 12). Selanjutnya Holle (1882: 15-18, dalam Darsa, 2007: 15) menyatakan aksara tersebut sebagai modern schrift uit de Soenda-landen, en niet meer dan + jaar oud ‘aksar modern dari Tatar Sunda, dan berusia tidak lebih dari sekitar 1500 tahun’. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan para ahli, aksara Sunda Kuno paling muda ditemukan pada akhir abad ke-18, yakni pada naskah Waruga Guru yang ditulis di atas kertas Eropa (Ekadjati, 1988: 11). Berdasarkan keterangan-keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa aksara Sunda Kuno adalah salah satu jenis aksara yang digunakan di wilayah Sunda pada abad XIV-XVIII. Selanjutnya yang dimaksud dengan aksara Buda/Gunung menurut Piageaud (1970) adalah aksara yang digunakan pada Kuňjarakarana (Kern, 1901) dan Arjunawiwāha (Wiryamatana, 1987) (Darsa, 1998: 36-37)[2]. Kemudian yang dimaksud dengan bahasa Jawa Kuno adalah bahasa rumpun Austronesia yang dipergunakan pada sekitar Abad IX-XV yang meliputi sastra kakawin (puisi), parwa (prosa), prasasti dan sejumlah risalat teknis (Teeuw, 1969 dalam Pradotokusumo, 1984: 34-35). Namun batasan awal penggunaan bahasa Jawa Kuno mungkin lebih tua lagi karena pada abad IX itu merupakan waktu penulisan prasasti yang menggunakan bahasa Jawa Kuno tertua, yakni pada prasasti Sukabumi yang bertitimangsa 804 Masehi (Zoetmulder, 1983: 10). Sedangkan mengenai wilayah pengunaannya para ahli sampai saat ini masih belum mendapatkan jawaban yang pasti (Zoetmulder, 1983: 4).
Keberadaan naskah berbahasa Jawa Kuno (?) yang ditulis dengan aksara Sunda Kuno dalam Khasanah Naskah Sunda menjadi suatu keunikan. Karena selama ini berdasarkan penelitaian yang sudah dilakukan para ahli (Holle, Pleyte, Poerbatjaraka, Noorduyn, Atja, Danasasmita, Pradotokusumo, Darsa, Kalsum, Wartini, dan Ruhimat) biasanya aksara Sunda Kuno digunakan untuk merekam bahasa Sunda Kuno seperti naskah, Carita Ratu Pakuan, Fragmen Craita Parahyangan, Carita Parahyangan, Séwaka Darma, Carita Ratu Pakuan, Carita Purnawijaya, Kawih Paningkes, Lesjes van Soenan Goenoeng Djati, Gemengd, Jati Raga atau Jati Niskala, Darmajati, Amanat Galunggung, Kisah Keturunan Rama dan Rawana atau Pantun Ramayana, Bujangga Manik, Kisah Sri Ajnyana, dan Naskah Ciburuy I, dan Naskah Ciburuy II. Sedangakan naskah-naskah berbahasa Jawa Kuno yang yang berada dalam Khasanah Naskah Sunda biasanya menggunakan aksara Buda/Gunung, seperti pada naskah Serat Catur Bumi, Serat Buana Pitu atau Sanghyang Hayu, Serat Séwaka Darma, Serat Dewa Buda, dan Sang Hyang Raga Dewata.
Kata Bima Swarga berasal dari kata Bima (bahasa Sansekerta Bhīma (N)) dan Swarga (bahasa Sansekerta Svarga (V)). Bima dapat diartikan 1) fearfull, terrible, formidable ‘a. ketakutan, menakutkan, hebat’ 2) one of the eight forms of Siva ‘salah satu dari delapan bentuk (Dewa) Siwa 3) of various devine being and men, esp. of the second son of Pāndu ‘macam-macam mahluk yang mepunyai sifat dewa dan manusia, khususnya putra kedua Pandu’ (Macdonell, 1954: 206). Swarga dapat diartikan going of leading to the light or heaven, celestial. ‘menuju atau memimpin ke cahaya atau ke surga, penghuni surga’ (Macdonell, 1954: 371). Oleh karena itu Bima Swarga dapat diartikan perjalan Bima ke surga karena sesuai dengan cerita dalam naskah.
Secara singkat naskah Bima Swarga menceritakan perjalanan tokoh Bima ke kahyangan untuk memohon kepada dewa agar ayahnya (Pandu) dimasukan ke surga. Permintaannya tersebut akan dikabulkan jika Bima berhasil mengalahkan pengetahuan dewa. Meskipun agak berat Bima menyetujui syarat tersebut. Setelah melaui berbagai ujian yang sulit Bima berhasil mengalahkan dewa serta membebaskan ayahnya dari neraka. Kemudian diceritakan juga mengenai keinginan Bima untuk membuhuh Yama.
Cerita BS ini oleh orang Bali merupakan salah satu ajaran, karma phala (akibat dari baik-buruknya perbuatan yang dilakukan manusia selama hidupnya). Di kabupaten Klungkung BS dijadikan lukisan yang menghiasi Kerta Gosa (Suatu bangunan (bale) yang merupakan bagian dari bangunan kompleks Kraton Semarapura yang dibangun sekitar tahun 1686 oleh Ida I Dewa Agung Jambe). Kemudian cerita ini juga menjadi relief pada Candi Sukuh di Jawa Tengah. Pada Candi Sukuh yang berada di wilayah Jawa Tengah Selatan
[3] sebagai mana diungkapkan oleh Munandar (2004: 56) terdapat relief cerita a. Fragmen Garudeya; b.Fragmen Sudhamala; c. Fragmen Bima Bungkus; d. Bimaswarga; e. Nawaruci; f. Adegan pandai besi, cerita belum dikenal.
Selanjutnya BS juga tedapat dalam naskah Sanghyang Siksakandang Karesian yang bertitimangsa 1518 Masehi, yaitu :
…
Hayang nyaho di sakweh ning carita ma: darmajati, Sanghyang Bayu, Jayasena, Sedamana, Pu Jayakarma, Ramayana, Adiparwa, Korawasarma, Bima Swarga, rangga Lawe, Boma, Sumana, Kala Purbaka, Jarini, Tantri; sing sawetak carita ma memen taya.
…
…
‘Ingin tahu mengenai semua cerita: darmajati, Sanghyang Bayu, Jayasena, Sedamana, Pu Jayakarma, Ramayana, Adiparwa, Korawasarma, Bima Swarga, rangga Lawe, Boma, Sumana, Kala Purbaka, Jarini, Tantri; dan cerita sejenisnya bertanyalah kepada dalang.
…
Berdasarkan informasi tersebut dapat diperkirakan BS telah ada jauh sebelum abad XVI.
3. Potensi Pemaknaan Aksara Sunda Kuno Melalui Naskah Bima Swarga 623
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya aksara Sunda adalah adalah aksara yang digunakan pada prasasti-prasasti, piagam, dan naskah jaman kerajaan Sunda mulai + abad XIV. Sejak aksara ini diteliti dan diperkenalkan kembali, mulai bermuncul hasil-hasil penelitian yang banyak mengungkap hasil karsa, karya dan cipta para nenek moyang yang tersimpan pada peninggalan tertulis. Sejak diresmikan oleh pemerintah daerah melalui Perda no 5 tahun 2003 mulai muncul tulisan tentang pemaknaan aksara Sunda, seperti yang dilakukan Hidayat Suryalaga dalam makalahnya yang berjudul “Dangiang Aksara Sunda”. Dalam tulisan-tulisannnya Suryalaga berusaha memaknai aksara Sunda berdasarkan pemahaman filsafatnya. Oleh karena itu pada tulisan ini penulis mencoba memberikan data filologis untuk memaknai aksara Sunda. Adapun data tersebut terkandung dalam naskah Bima Swarga 623. Teks yang berpotensi tersebut sebagai berikut:
mantra ning sastra po(k) bima, bathara hindra, ka ka ga ga nga, bathara iswara, ca ca ja ja nya, bathara brahma, tha tha da da na, bathara wisnu, ta ta da da na, bathara mahadéwa, pa pa ba ba ma, bathara siwah, ya ra la wa, bathara gana, sa sa ha, bathara sambuh, suh pada kita bathara guru//
hedi(p) gwané duk ing awak ta bima, ka ka ga ga nga, ring kulit, ca ca ja ja nya, ring daging, tha tha da da na, ring getih, ta ta da da na, ring ngawatot, pa pa ba ba ma, ring balung, ya ra la wa, ri pagegelitan ni sarira, sa sa ha, ri sumpuham hututingku bima//
…..hedi(p) gwané dénta aa ring muka, ii ring rahi, da da ring mata, reu reu ring kuping, leu leu ring irung, tha taha ring lambé, jnya jnya ring cangkem, aa ring ngelaklakan,
aa bapangku, ii hibungku, awigwna hidepku, mastu ri sabdaku, sidem ring gulungku,
ka ka ga ga nga, bahuku tengen, ca ca ja ja nya, bahuku kiwa, tha tha da da na, sikuku tengen, ta ta da da na, sikuku kiwa, pa pa ba ba ma, lambungku, ya ra la wa, ri puserku ni sarira, sa sa ha, ri pusususuku//
‘mantra dari para dewa katakan Bima! Bhatara Hindra, ka ka ga ga nga, Bhatara Iswara, ca ca ja ja nya, Bhatara Brahma, tha tha da da na, Bhatara Wisnu, ta ta da da na, Bhatara Mahadéwa, pa pa ba ba ma, Bhatara Siwah, ya ra la wa, Bhatara Gana, sa sa ha, Bhatara Sambuh, melebur menjadi engkau Bhatara Guru.
Tekad manfaat pada tubuh Bima, ka ka ga ga nga, di kulit, ca ca ja ja nya, di daging, tha tha da da na, di darah, ta ta da da na, di otot, pa pa ba ba ma, di tulang, ya ra la wa, di kemarahan pada tubuh, sa sa ha, di dalam hatiku Bima.
….. Tekad manfaat suci, aa di muka, ii di dahi, da da di mata, reu reu di telinga, leu leu di hidung, tha tha di bibir, jnya jnya di mulut, aa di anak tekak.
aa bapakku, ii ibuku, awigwna pikiranku, mastu ri ucapanku, sidem di pikiranku,
ka ka ga ga nga, pundak kananku, ca ca ja ja nya, pundak kiriku, tha tha da da na, siku kananku, ta ta da da na, siku kiriku, pa pa ba ba ma, lambungku, ya ra la wa, ri pusarku di tubuh, sa sa ha, di ususku ’
Berdasarkan kutipan teks, maka diperoleh potensi pemaknaan aksara Sunda Kuno, seperti yang diuraikan berikut ini.
Bhatara Hindra, ka ka ga ga nga,
Bhatara Iswara, ca ca ja ja nya,
Bhatara Brahma, tha tha da da na,
Bhatara Wisnu, ta ta da da na,
Bhatara Mahadéwa, pa pa ba ba ma,
Bhatara Siwah, ya ra la wa,
Bhatara Gana, sa sa ha,
ka ka ga ga nga, di kulit,
ca ca ja ja nya, di daging,
tha tha da da na, di darah,
ta ta da da na, di otot,
pa pa ba ba ma, di tulang,
ya ra la wa, di kemarahan,
sa sa ha, di dalam hati.
aa di muka,
i i di dahi,
da da di mata,
reu reu di telinga,
leu leu di hidung,
tha tha di bibir,
jnya jnya di mulut,
aa di ngelaklakan,
aa bapakku,
ii ibuku,
awigwna pikiranku,
mastu ri ucapanku,
sidem di hatiku,
ka ka ga ga nga, pundak kananku,
ca ca ja ja nya, pundak kiriku,
tha tha da da na, siku kananku,
ta ta da da na, siku kiriku,
pa pa ba ba ma, lambungku,
ya ra la wa, ri pusarku di tubuh,
sa sa ha, di ususku’
5. Simpulan
Aksara Sunda sebagai salah satu jenis aksara yang ada di Nusantara tentunya harus terus diteliti dan dilestarikan. Hal ini penting, karena bangsa yang telah mengenal atau memiliki aksara dapat dikatakan sebagai bangsa yang memiliki peradaban yang maju. Selain dengan cara menguak tesk-teks yang terbungkus dengan Aksara Sunda, para peneliti juga perlu meneliti eksistensi aksara sunda itu sendiri. Dengan adanya potensi baru untuk memaknai aksara Sunda diharapkan dapat memberikan bahan bakar yang cukup bagi penelitian selanjutnya.
Munandar, Agus Aris. 2004. Karya Sastra Jawa Kuno Yang Diabadikan Pada Relief Candi-Candi Abad Ke-13—15 M. Makara, sosial humaniora, vol. 8, no. 2.