Memaknai Arti Pentingnya Naskah Sunda Kuno

Mohon maaf, kiranya judul di atas sudah terlalu usang untuk kita yang saat ini membutuhkan sesuatu yang segar seperti daging di swalayan. Seumpama anda memiliki sebuah warisan naskah kuno dari leluhur anda, kemudian anda perlihatkan kepada teman-teman anda, mungkin teman anda akan bilang “Wah, ini penting!” Dan mungkin, semua orang yang melihat sebuah naskah Sunda kuno dalam wujud aslinya akan berkata bahwa naskah itu sangat “penting”.
Kata penting dalam konteks diatas, kiranya tidak terlalu menjadi persoalan bagi kita. Kata tersebut melintas seperti sebuah kata dalam daun talas, berlalu begitu saja. Mungkin, lain halnya apabila kata sakti tersebut dikatakan oleh seseorang yang sekiranya layak dan berhak. Kata ‘penting’ selayaknya diucapkan oleh orang ‘penting’ juga.
Dan itu terjadi juga dengan naskah Sunda kuna, yang – konon kabarnya – masih banyak terselubung dalam ruang-ruang gelap, dalam leuweung-leuweung ganggong geledegan, menunggu seorang penjelajah yang datang menjamahnya. Predikat ‘penting’ juga diberikan orang ‘penting’ dan disandang oleh naskah Sunda kuno. Tapi ada baiknya apabila kita sedikit berhati-hati dengan kata tersebut.
Seberapa saktinya kata ‘penting’ yang diucapkan oleh orang ‘penting’, dapat terlihat dari perubahan yang terjadi dalam perkembangan Naskah Sunda Kuno saat kini. Apabila kita menengok perjalanannya, ada baiknya orang yang menganggap penting itu belajar dari para pendahulu yang setidaknya pernah menganggap bahwa naskah itu penting. Pendahulu kita seperti Atja, Saleh Danasasmita, Eddy S. Ekadjati, Ayat Rohaedi, Tien Wartini, Undang Ahmad Darsa, Ruhaliah, dan yang lainnya mungkin lebih tahu bagaimana pentingnya naskah Sunda kuno itu.
Kata penting bagi mereka yang telah menyelami adalah dengan duduk berlama-lama dari pagi sampai sore, membaca naskah lempir demi lempir lembar demi lembar, memilah-milah bilah demi bilah, mengalih aksarakan tanda demi tanda, menerjemahkan kata demi kata, sampai membuat edisi yang siap baca bagi pembaca umum yang tidak bisa membaca naskah dalam wujud aslinya. Kemudian naskah yang ‘siap baca’ itu dapat dimanfaatkan sebagai landasan dan sumber inspirasi bagi siapapun. Mungkin dari perjalanan panjang itulah mengapa naskah Sunda kuno menjadi ‘penting’.
Di samping itu semua, patut pula diingat, bahwa para pendahulu kita beberapa diantaranya telah meninggalkan kita, dan inipun perkara ‘penting’. Pewarisan-pewarisan tradisi filologi melalui regenerasi sudah menjadi sebuah keharusan. Pengemban tugas tersebut seperti UNPAD atau UPI melalui pendidikan formal mungkin telah menjalankan tugasnya dengan baik. Mereka (baca: UNPAD dan UPI) secara berkesinambungan mencetak lulusan-lulusan yang mumpuni di bidang filologi, dan itu terlihat apabila kita melihat judul-judul penelitian mahasiswa S1 yang secara khusus menggarap filologi. Hanya saja, dalam siklus industri Sumber Daya Manusia, para peneliti muda kita seperti yang cape gawe teu kapaké karena setelah bersinggungan dengan dunia nyata, mereka bertanya-tanya, lembaga mana yang dapat menampung mereka secara profesional?
Tampak adanya lubang besar yang semestinya ditutupi, dan lubang-lubang tersebut adalah pihak atau lembaga yang memang berkewajiban menjalankan tugasnya memelihara kata ‘penting’ dalam naskah Sunda kuno. Dengan otonomi daerah, masing-masing dinas yang bertugas di wilayah eksekutif selayaknya melaksanakan tugasnya dengan baik, karena para perencana seperti BAPPENAS dan BAPPEDA sendiri telah secara khusus menyoroti hal yang ‘penting’ ini.
Selanjutnya, paradigma penggarapan naskah yang berorientasi pada proyek yang bersifat pragmatis selayaknya dirubah secara fundamental. Peribahasa cikaracak ninggang batu laun-laun jadi legok dirasa masih sangat relevan untuk para penentu kebijakan. Peribahasa tersebut, apabila dimaknai, dalam prakteknya akan berpengaruh pada budaya lembaga pemerintahan. Walaupun penentu kebijakan berganti, tetapi kebijakannya sendiri tetap ajeg, teu unggut kalinduan teu gedag kaanginan. Semua harus dilaksanakan secara sabar – seperti para penggarap naskah terdahulu – terstruktur, dan konsekuen, baik di tingkat pusat/propinsi maupun di tingkat kabupaten.
Di tingkat pusat dan propinsi, mungkin pertanyaan yang bisa diajukan adalah: Adakah terjalin kerjasama dan koordinasi antara lembaga-lembaga yang menjalankan tugas di bidang yang ‘penting’ ini, seperti Perpusnas, Pusat Bahasa, Disbudpar Jabar, dan lembaga pendidikan formal tingkat tinggi di Jawa barat yang pada akhirnya diharapkan menciptakan sebuah pangkalan pusat data koleksi dan referensi yang menginventaris dan memberikan data objektif mengenai keadaan naskah Sunda beserta referensi penggarapannya?
Kemudian di tingkat kabupaten, kepada disbudpar/disparkot yang memiliki program penggarapan naskah Sunda mungkin timbul pertanyaan: bagaimana mereka mempersiapkan SDM-nya? adakah upaya pengembangan SDM dari lembaga yang berkepentingan berkaitan dengan isu ‘penting’ ini? Apakah telah diadakan penelusuran naskah dan inventarisir data penelitian, baik yang berada pada koleksi pribadi maupun koleksi lembaga yang disesuaikan dengan kepentingan dan prioritas garapan lembaga tersebut? Apakah penggarapan naskah dilaksanakan secara seksama oleh para peneliti dan bisa diertanggung jawabkan secara keilmuan? Apakah penerbitan dan publikasi kepada masyarakat luas dengan tetap berkoordinasi dengan pusat sebagai pangkalan data koleksi dan referensi telah dilaksanakan dengan baik?
Pertanyaan diatas memberikan dua kemungkinan, yaitu bisa dijawab dengan ucapan ringan atau dijawab dengan perjalanan panjang tindakan layaknya penggarapan naskah Sunda kuno itu sendiri. Mungkin opsi kedua patut dipertimbangkan, karena dengan perjalanan panjang, kata ‘penting’ menjadi lebih bermakna.
Aditia Gunawan
Penulis Lepas, bekerja di Bagian Naskah Kuno Perpustakaan Nasional.
Author Avatar
Aditia Gunawan

Pustakawan dan kurator naskah di Perpustakaan Nasional (Perpusnas). Fokus penelitiannya adalah teks-teks Sunda Kuno & Jawa Kuno. Menyelesaikan studi master di bidang teks dan linguistik di Institut National des Langues et Civilisations Orientales (INALCO, Paris) (2016). Saat ini sedang studi S-3 di École Pratique des Hautes Etudes (EPHE, Paris) dalam rangka proyek DHARMA dengan beasiswa dari EFEO Paris.

Suka dengan konten Aditia Gunawan ? Kamu bisa memberikan dukungan dengan mentraktir kopi atau bagikan konten ini di media sosial.

4 comments and 0 replies
  1. @ Bujanggamanik: Hatur nuhun supportna, mugi tiasa jejem dina ngaleukeunan naskah Sunda. Amin.

    25 Apr 2011 at 12:20 Reply
  2. Kang Adit, maos postingan di luhur asa aya nu nyeredet kana hate. Asa karampa naon nu jadi kamelang Kang Adit, naon nu jadi kahariwang Kang Adit. Keun we Kang Adit, urang mah sing jejem we dina tangtungan nu pengkuh. Mun tea mah rea kacaritakeun nu muru proyek dina transliterasi jeung terjemahan naskah pikeun ngudag materi wungkul, urang mah ulah teuing. Sok lah didukung pisan. Insya Alloh ke baris guguru ka Kang Adit perkawis maca naskah Sunda kuno. Hatur nuhun.

    25 Apr 2011 at 11:43 Reply
  3. Halo, maaf apa anda bisa bahasa sunda? Jika anda bisa bahasa sunda, apakah anda bersedia membantu rekaman hak-hak asasi manusia dalam bahasa sunda untuk librivox.org? Jika anda tidak bersedia bisakah anda membantu mencari orang untuk membacakannya? Untuk informasi saya punya project di LibriVox, situs bebas audio books (buku rekaman), yang punya rekaman hak-hak asasi manusia dalam 30 bahasa dan akan tutup dalam 24 Oktober 2008. Project ini di situs http://librivox.org/forum/viewtopic.php?t=14416 . teks dalam bahasa sunda bisa dilihat di situs http://www.unhchr.ch/udhr/lang/suo.htm . tolong jika anda berminat silahkan lihat di blog saya (http://puisiderwelt.blogspot.com ) jika anda bersedia membantu. Terima kasih banyak!

    25 Agu 2008 at 12:46 Reply
  4. Halo, maaf apa anda bisa bahasa sunda? Jika anda bisa bahasa sunda, apakah anda bersedia membantu rekaman hak-hak asasi manusia dalam bahasa sunda untuk librivox.org? Jika anda tidak bersedia bisakah anda membantu mencari orang untuk membacakannya? Untuk informasi saya punya project di LibriVox, situs bebas audio books (buku rekaman), yang punya rekaman hak-hak asasi manusia dalam 30 bahasa dan akan tutup dalam 24 Oktober 2008. Project ini di situs http://librivox.org/forum/viewtopic.php?t=14416 . teks dalam bahasa sunda bisa dilihat di situs http://www.unhchr.ch/udhr/lang/suo.htm . tolong jika anda berminat silahkan lihat di blog saya (http://puisiderwelt.blogspot.com ) jika anda bersedia membantu. Terima kasih banyak!

    25 Agu 2008 at 12:46 Reply

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *