Mumu, ‘Pemburu’ Naskah Kuno Demi Budaya Sunda

Tulisan ini adalah arsip salinan, sebelumnya telah dimuat pada laman Nationalgeographic.co.id tanggal 16 Januari 2012.

Munawar Holil/Zika Zakia

“Halo, selamat siang,” sapa ramah seorang pria berkacamata dengan kemeja batik siang itu. Setelah bersalaman dan berbincang sebentar dengan penulis, raut pria bernama Munawar Holil, dosen Ikthisar Sastra Sunda Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia, itu berubah serius ketika mulai membicarakan soal Naskah Sunda Kuno (NSK).

Inilah bidang ilmu yang menjadi keahliannya sejak masih di bangku kuliah jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra UNPAD di tahun 1988. “Banyak orang yang salah paham soal Naskah Sunda Kuno. Mereka kira dengan tulisan tertentu itu adalah naskah kuno, padahal naskah kuno itu adalah yang terbit sebelum abad ke-16, masa pra islam. Huruf yang digunakan pun adalah huruf Pegon (huruf Arab yang dimodifikasi) atau yang menggunakan huruf Cacarakan,” kata Kang Mumu, sapaannya, saat berbincang di FIB pekan lalu.

Kecintaannya pada NSK terjadi tidak sengaja saat masih kanak-kanak. Saat itu, ayah kandung dan pamannya sering bertukar surat menggunakan huruf Pegon. “Saat saya masih SMP, ketika ada surat balasan dari Uwak (Paman) biasanya saya yang diminta membacakan, itu adalah proses baca yang tidak disengaja,” tuturnya lagi.

Ilmu yang tidak sengaja itu kemudian terbawa saat pria kelahiran Ciamis, 9 Juni 1969, itu masuk di tahun pertama kuliah.  Di hari pertama perkuliahaan hanya diisi dengan pembagian kertas berisi huruf kuno sebanyak lima lembar. Saat rekan-rekannya yang lain masih termangu melihat huruf-huruf itu, Kang Mumun sudah mengerti isi kertas tersebut. “Minggu depannya, kami ditunjuk satu per satu untuk membacanya. Ketika saya yang ditunjuk, ya saya membaca saja.”

Proses pengetahuannya semakin mendalam seiring berjalannya waktu perkuliahan. Ketika akhirnya lulus, ia kemudian dipanggil ke kantor Dekan dan diminta menghubungi (alm) Profesor Ayatrohaedi di Universitas Indonesia. Profesor yang terakhir disebut butuh tenaga lulusan Sastra Sunda untuk mengajar.

Singkat cerita, Kang Mumu akhirnya bertemu sang Profesor hingga akhirnya menjadi dosen di UI dan terlibat perburuan beberapa NSK. Hingga saat ini sudah 15 NSK yang diterjemahkan olehnya. Namun, berburu NSK untuk diterjemahkan tidak semudah berburu buku di toko. “Saya pernah datang beberapa pemilik naskah kuno yang keberatan memberi atau memperlihatkan naskah milik mereka. Sedangkan ada lembaga penelitian naskah di Leiden, Belanda, kita malah mudah diakses, bisa dipotret dari awal sampai akhir,” kata pria jebolan S-2 , Pengkhususan Studi Filologi FIB UI ini.

“Di Perpusnas (Perpustakaan Nasional) memang ada naskah kuno yang bisa diakses. Tapi kalau memotret per halamannya dikenai harga Rp10.000. Kalau misalkan saya perlu sekitar enam naskah dan masing-masing seratus halaman, lalu dikalikan Rp3.000 untuk diprint (cetak),” tambahnya dengan senyum kecut.

Selain itu, hanya ada lima lembaga yang menyimpan NSK; Perpustakaan Nasional RI, Museum Sri Baduga di Bandung, perpustakaan Univeristas Leiden di Belanda, Bodleian Library di Inggris, dan kabuyutan (daerah yang disucikan kelompok masyarakat tertentu di Tatar Sunda).

Kelompok terakhir pemilik NSK inilah yang paling sulit untuk diakses. Mereka takut menyerahkan NSK itu pada orang asing karena khawatir dihilangkan atau bahkan diambil. Padahal sering kali untuk bisa melacak dan menjangkau keberadaan para pemilik NSK ini, Kang Mumu harus merogoh kocek pribadi. “Dana perburuan naskah lebih banyak dari pribadi, saya tidak pernah hitung-hitungan. Demi naskah, bidang yang saya cintai.”

Tapi tidak melulu, peristiwa sedih yang dilaluinya. Pernah juga terjadi hal-hal lucu menyangkut naskah kuno milik masyarakat. Tiga tahun lalu, Kang Mumun ditawari bisa memotret sebuah NSK. Namun, dengan syarat bisa menerjemahkan dua lembar surat berhuruf kuno milik sang empunya naskah.

Menurut si pemilik, surat itu berisi wasiat penting yang sudah dimiliki turun-temurun tapi tak seorang pun bisa membacanya. Surat itu sendiri juga nampak meyakinkan dengan tanda tangan empat orang petinggi desa di tahun 1860.

“Ternyata sesudah saya baca, itu hanya surat pemberitahuan dari Camat jika ada acara penanaman kopi di daerah itu dan ia minta informasi disebarluaskan, itu isi surat lembar pertama. Di surat kedua, isinya pemberitahuan akan ada penyuntikan rabies di desa itu,” papar Kang Mumu lalu tersenyum.

Si empunya tak terima dengan terjemahan Kang Mumu dan mengganggap sang dosen kurang ajar terhadap warisan keluarganya. “Akhirnya saya tidak boleh memotret naskah kuno yang sudah dijanjikan mereka.”

Semua kejadian dalam karirnya dianggap bukanlah tantangan berarti. Kang Mumu kini hanya punya harapan agar ilmu yang dengan susah payah digalinya bisa diakses dengan mudah ke masyarakat.

“Mudah-mudahan penelitian saya ini bisa dikumpulkan di satu portal, jadi orang yang ingin tahu bisa mudah mengaksesnya. Untuk apa dimiliki pribadi, lebih baik ilmu itu dibagi dan dibaca.” (Zika Zakiya)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *