Ilham Nurwansah1
dalam Jumantara Vol. 4 No. 1 (2013) hlm.151-164
file pdf dapat diunduh dari http://www.pnri.go.id/MajalahOnline.aspx
Abstrak
Peneltian terhadap naskah Sunda kuna (NSK) yang belum menyeluruh menimbulkan beberapa anggapan yang cenderung bersifat sementara. Seperti halnya anggapan Atja dan Danasasmita terhadap sebuah naskah berjudul Sanghyang Siksakandang Karesian (kropak 630). Naskah tersebut pada mulanya dianggap tunggal (codex uniqum), namun pada penelitian mutakhir ternyata ditemukan naskah dengan isi teks yang sama pada kropak 624. Naskah ‘kedua’ ini memiliki keunikan karena menggunakan alas tulis dan aksara yang berbeda dari naskah pertama. Naskah kropak 630 ditulis dengan aksara Buda/Gunung menggunakan tinta, pada bahan nipah. Sedangkan naskah kropak 624 ditulis dengan aksara Sunda kuna menggunakan péso pangot (pengutik), pada bahan lontar. Adapun bahasa yang digunakan pada kedua naskah tersebut sama, yaitu bahasa Sunda kuna. Hal ini merupakan anomali dalam pernaskahan Sunda kuna. Tulisan ini berupaya mengupas naskah kropak 624 berdasarkan metode filologis, sehingga dapat terlihat persamaan maupun perbedaan kandungan teksnya dengan kropak 630.
Kata kunci: Naskah Sunda Kuna, Sanghyang Siksa Kandang Karesian, Lontar, anomali.
1. Pembuka
Informasi awal tentang keberadaan naskah Sanghyang Siksakandang Karesian (SSK), pertamakali diungkap oleh Atja dan Saleh Danasasmita pada tahun 1981. Penelitian tersebut perupakan tindak lanjut atas informasi yang dipublikasikan oleh K.F Holle pada tahun 1867. Holle mengumumkan tiga naskah Sunda kuna (NSK) pemberian Raden Saleh kepada Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Weteschapen (BGKW). Pengumuman itu dimuat dalam artkel berjudul Vlugtig Berigt omtrent Eenige Lontar-handschriften Afkomistig uit de Soenda-landen, door Radhen Saleh aan het Wetenschappen ten Gesnechenke gegeven met toepassing of de inscriptie van Kawali, diterbitkan dalam majalah TBG tahun 1867 (Wartini, 2010:3).
Ketiga NSK tersebut hanya diberi keterangan sebagai (1) Manuschrift Soenda A (MSA), (2) Manuschrift Soenda B (MSB), dan (3) Manuschrift Soenda C (MSC). Barulah setelah beberapa dekade kemudian NSK tersebut diteliti. MSA yang kemudian diberi nomor kode kropak 632 adalah naskah yang berisi Amanat Galunggung (1981); MSB bernomor kropak 630 berjudul Sanghyang SiksakandangKaresian (1981); dan MSC bernomor kode kropak 631 berjudul Candrakirana (1998)(Darsa & Ekadjati, 2006:11).
Pada awalnya naskah SSK dianggap sebagai naskah tunggal (codex uniqum) oleh Atja dan Saleh Danasasmita. Hal ini dimungkinkan karena pada waktu itu belum dilakukan penelitian NSK yang begitu menyeluruh. Di samping naskah-naskah yang didapat oleh Holle, terdapat pula naskah yang diperoleh dari Bupati Bandung Wiranatakusumah IV (1846-1847) (Krom, 1914 dalam Wartini, 2010:4), dan naskah yang diperoleh dari Bupati Galuh Raden Aria Adipati Kusumadiningrat (1839-1866) yang berasal dari koleksi C.M. Pleyte (Darsa & Ekadjati, 2006:12). Naskah-naskah pemberian Bupati Bandung kini disimpan pada kropak nomor 620-626 dan kropak nomor 633-642. Sedangkan naskah pemberian Bupati Galuh yaitu kropak nomor 406-415 dan kropak nomor 420-423.
Setelah pada tahun 2008 dilakukan rekatalogisasi NSK koleksi BGKW (kini menjadi koleksi PNRI), terungkaplah beberapa naskah yang belum pernah tercatat dalam katalog-katalog sebelumnya beserta naskah yang belum pernah diteliti. Dalam pengumuman rekatalogisasi tersebut terdapat salah satu naskah yang cukup menarik perhatian, yaitu kropak nomor 624 dan peti nomor 85 berjudul Sanghyang Siksa Kandang Karesian (Gunawan, 2009). Hal ini menarik karena ternyata naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian tidaklah uniqum seperti yang disebutkan sebelumnya oleh Atja dan Saleh Danasasmita pada kropak nomor 630.
Meskipun naskah kropak 624 merupakan koleksi BGKW bersama-sama dengan kropak 630, namun diperoleh dari sumber yang berbeda. Naskah Sanghyang Siksakandang Karesian kropak 630 berasal dari koleksi pemberian Raden Saleh, sedangkan naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian kropak 624 berasal dari koleksi pemberian Bupati Bandung. Penelitian-penelitian naskah yang dilakukan oleh Atja maupun Saleh Danasasmita tampaknya2 cenderung dilakukan pada naskah-naskah koleksi K.F. Holle atau pemberian Raden Saleh saja. Dengan demikian cukup jelaslah mengapa naskah Sanghyang Siksakandang Karesian pada awalnya dikatakan sebagai naskah tunggal (codex uniqum). Tetapi dengan terungkapnya naskah ‘kedua’ dengan isi kandungan yang sama pada kropak 624, maka angapan tersebut kini telah gugur.
Bila dibandingkan dengan naskah kropak 630, terdapat beberapa keunikan pada naskah kropak 624. Naskah kropak 630 ditulis dengan aksara Buda/Gunung menggunakan tinta, pada bahan nipah. Sedangkan naskah kropak 624 ditulis dengan aksara Sunda kuna menggunakan péso pangot (pengutik), pada bahan lontar. Adapun bahasa yang digunakan pada kedua naskah tersebut sama, yaitu bahasa Sunda kuna. Naskah dengan keunikan serupa ditemukan pada kropak 623 Bima Swarga3, hanya saja bahasa yang digunakannya yaitu Jawa kuna (Sopian, 2011).
Aksara Sunda kuna yang digunakan pada naskah kropak 624 ini serupa dengan aksara yang digunakan untuk merekam bahasa Sunda kuna, seperti dalam naskah Carita Parahyangan, Fragmen Carita Parahyangan, Carita Ratu Pakuan, Sanghyang Sasana Maha Guru, dan Bujangga Manik. Sedangkan mengenai perbedaan media tulis yang digunakan oleh naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian, dapat merujuk pada keterangan dalam teks naskah Sanghyang Sasana Maha Guru4 (SSMG).
/7v/…diturunkeun deui, sa(s)tra mu(ng)gu ring taal, dingaranan ta ya carik, aya éta meunang utama, kéna lain pikabuyutaneun. Diturunkeun deui, sa(s)tra mu(ng)gu ring gebang, dingara(n)nan ta ya ceumeung. Ini iña pikabuyutaneun…
…Diturunkan lagi, tulisan di atas di atas daun lontar, dinamakan goresan ‘carik’, ada mendapatkan keutamaan, karena bukan untuk kabuyutan. Diturunkan lagi, tulisan di atas gebang, dinamakan hitam ‘ceumeung’, inilah yang digunakan untuk kabuyutan… (Gunawan, 2009:112-113).
Pada teks tersebut terlihat perbedaan fungsi dan kedudukan tulisan dengan alas tulis yang berbeda. Dalam hal ini lontar dan gebang. Tulisan di atas daun lontar dibuat dengan cara digores menggunakan pisau pangot atau pengutik. Dalam teks Sanghyang Siksa Kandang Karesian terdapat bagian yang menjelaskan bahwa péso pangot perupakan alat yang digunakan oleh pandita.
XVII …Ganggamam sang pandita ma: kala katri, péso raut, péso dongdang, pangot, pakisi. Danawa pina/h/ka dewanya, ja itu paranti kumeureut sagala…
… Senjata sang pendeta ialah: kala katri, pisau raut, pisau dongdang, pangot, pakisi. Danawa yang dijadikan dewanya, karena digunakan untuk mengerat segala … (Atja & Danasasmita, 1981).
Tulisan yang digoreskan di atas daun lontar berfungsi sebagai media untuk mendapatkan keutamaan, artinya mendapatkan segala manfaat dari kandungan yang ada di dalamnya. Holil dan Gunawan (2010), seperti anggapan Noorduyn dan Teeuw (2006), memperkirakan bahwa naskah lontar yang umumnya berbentuk puisi, berkaitan erat dengan carita pantun, tradisi lisan Sunda masa lalu, karena memiliki pola metrum yang relatif sama. Artinya, teks-teks di atas daun lontar memungkinkan untuk ditampilkan secara lisan dalam sebuah pertunjukan carita pantun.
Sementara tulisan di atas gebang dinamakan ceumeung ‘hitam’. Yang dimaksud gebang adalah nipah, karena memiliki ciri-ciri yang sama yaitu ditulis menggunakan tinta hitam. Naskah nipah ditulis menggunakan tinta organik yang berasal dari hasil olahan nagasari dan damarsela, sedangkan pena yang digunakan adalah harupat (batang lidi pohon aren5) (Holle, 1882:17).
NSK nipah hampir seluruhnya berbentuk prosa didaktis, berisi risalah keagamaan yang diajarkan sang pandita kepada sang séwaka darma. Hal ini diperkuat dengan pengaruh penggunaan bahasa Jawa kuna, sebagai bahasa pengantar keagamaan, yang cukup dominan dalam naskah nipah (Holil & Gunawan, 2010:114-115). Berdasarkan hal ini, dapat dimengerti mengapa naskah-naskah gebang dijadikan sebagai kabuyutan atau mandala (pikabuyutaneun).
Naskah kropak 624 memiliki kandungan teks yang sama dengan kropak 630, padahal dituliskan pada bahan yang berbeda (lontar dan gebang). Apabila konteks kabuyutan yang dimaksud pada naskah SSMG tersebut mengacu pada isi teks naskah dengan bahan tertentu, maka naskah kropak 624 merupakan sebuah anomali. Dengan demikian diperlukan kajian lebih mendalam mengenai fungsi NSK berdasarkan bahan tulisnya, yang mengacu pada keterangan di dalam naskah SSMG. Selain itu, karena bentuk teksnya yang tidak bermetrum puisi, tampaknya naskah kropak 624 ini adalah naskah yang kecil kemungkinannya untuk ditampilkan sebagai tampilan pada carita pantun.
2. Deskripsi Naskah
2.1 Identitas Naskah
Naskah yang menjadi objek penelitian ini adalah naskah dengan nomor kode inv. 69 L 624 koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia atau disebut dengan naskah kropak 624. naskah tersebut disimpan pada kelompok “kropak Bandung”, yang berasal dari pemberian Bupati Bandung Wiranatakusumah IV (1846-1874) kepada Masyarakat Batavia Pecinta Seni dan Ilmu Pengetahuan (BGKW) kira-kira paruh kedua abad-19 (Krom dalam Gunawan, 2010:149). Dalam laporan kepurbakalaan tersebut tercatat bahwa kropak nomor 620 sampai dengan nomor 633 dan kropak nomor 633 sampai dengan nomor 642 adalah pemberian dari bupati Bandung.
Judul pada label disebutkan ‘Wariga6‘ tetapi setelah dibaca di bagian awal, tengah dan akhirnya, jelaslah isinya sama dengan naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian yang tercatat pada koleksi Perpustakaan Nasional nomor inv. Kr 630 (Danasasmita, 1988?). Mengenai isi teks kropak 624, Gunawan dan Holil (2010:136) juga menyebutkan bahwa naskah tersebut berisi teks Sanghyang Siksa Kandang Karesian.
Di bawah ini ditampilkan cuplikan perbandingan teks kropak 624 dengan kropak 630 pada bagian awal, tengah dan akhir:



Setelah ditinjau dan dibandingkan dengan edisi suntingan kropak 630, susunan lempir naskah kropak 624 (Seterusnya disebut SKKL: Siksa Kandang Karesian Lontar) tidak tersusun dengan benar dan bagiannya tidak lengkap. Holil dan Gunawan (2010:123) menemukan sebagian lempiran lain yang berisi teks kropak 624 pada peti 85 kode 1** (tidak jelas). Naskah yang diperkirakan merupakan bagian lain dari kropak 624 ini bersatu dengan naskah Bali dan Merbabu dalam sebuah kotak karton.
Pada peti nomor 85 terdapat 5 lempir naskah lontar yang menggunakan bahasa Sunda kuna dan aksara Sunda kuna dengan 4 baris aksara pada tiap lempirnya. Keadaannya telah hancur, patah dan keropos tanpa pengapit bambu. Ukurannya 36,3 x 3 cm (lempir terpanjang). Isinya yaitu Sanghyang Siksa Kandang Karesian. Pada kolofon disebutkan tempat penulisan naskah ini, yaitu di Nusakrata (?). Naskah ini ditulis pada bulan kesepuluh hari Selasa Manis.
2.2 Wujud Naskah
Naskah dengan kode inv. 69 L 624 koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) ini ditulis pada daun lontar berukuran 36,2 x 3,2cm. Jumlah lempirnya 20 (recto-verso, 40 halaman) tersusun atas 4 baris tulisan pada tiap halamannya. Pada bagian kiri bambu pengapit terdapat angka 624 yang menandakan nomor kode naskah dan pada bagian kanannya ditempel label bertuliskan 20=314×32 mm.
Lempiran-lempiran tersebut disatukan dengan benang kasur warna putih yang dimasukkan pada lubang kecil di bagian tengah naskah. Pengapit terbuat daru dua bilah bambu tutul. Secara keseluruhan, keadaan fisiknya mulus dan tulisannya masih dapat terbaca dengan cukup jelas.

Bagian sudut kiri naskah ini sedikit patah. Patahan tersebut berukuran dan berbentuk sama dan terdapat pada setiap lempiran dan pengapitnya. Tidak ditemukan keterangan yang menjelaskan mengapa patahan tersebut dapat terjadi. Pada beberapa lempiran terdapat bagian yang berlubang akibat serangga.

Pada setiap halaman verso terdapat angka yang ditulis dengan huruf Latin mulai dari angka 11 sampai 30. Posisinya berada di pojok kiri atas. Dari keberadaan angka ini, dapat diperkirakan, setidaknya pada mulanya naskah ini berjumlah 30 lempir atau mungkin lebih.
Aksara Sunda yang digunakan pada naskah kropak 624 ini adalah aksara Sunda kuna, serupa dengan aksara yang digunakan untuk merekam bahasa Sunda kuna, seperti dalam naskah Carita Parahyangan, Fragmen Carita Parahyangan, Carita Ratu Pakuan, Sanghyang Sasana Maha Guru, dan Bujangga Manik. Naskah ini memiliki karakter penulisan yang khas dari NSK yang disebutkan sebelumnya. Agar lebih jelas, di bawah ini ditampilkan karakter aksara Sunda kuna pada naskah SKKL.


Angka yang ditulis dengan aksara Sunda kuna ditemukan pada bagian sisi kiri atas, pada halaman verso. Posisinya terbalik 180odari arah baca. Hal ini termasuk jarang ditemukan pada NSK lainnya yang biasa ditulis tegak 90o dari arah baca7. Angka tersebut hanya ditemukan pada 8 lempir, yaitu pada lempir 2B hingga 9B. Di bawah ini tampilan angka pada naskah.
3. Rekonstruksi Teks
Rekonstruksi teks merupakan proses untuk menyusun kembali teks pada naskah agar dihasilkan susunan teks yang sesuai dengan konteks kalimat dan alur cerita (Wartini, 2010). Rekonstruksi teks sangat diperlukan untuk menyusun kembali alur pada naskah SKKL, sebab pada proses pemotretan hanya dilakukan pada satu sisi untuk lima lempir (depan saja, belakang saja). Hal ini tidak sesuai dengan susunan cara membaca lempiran naskah yang biasanya depan-belakang (recto-verso).
Isi teks SKKL sama dengan teks pada naskah kropak 630, oleh karena itu untuk merekonstruksi teks SKKL dilakukan perbandingan dengan kropak 630, dengan maksud untuk menemukan susunan teks yang tepat.
Setelah ditinjau dan dibandingakan dengan hasil transliterasi naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian kropak 630 (Danasasmita:1987), ternyata ditemukan susunan yang tidak sama. Hal ini mungkin saja terjadi karena susunan lempir berubah saat penyimpanan dan kesalahan saat mengapit, atau akibat kesalahan juru tulis saat menyalin (atau membuat) naskah ini. Dengan demikian, susunaan lempir setelah dilakukan rekonstruksi menjadi 1A, 1B, 2A, 2B, 3A, 3B, 4A, 4B, 5A, 5B-16B, 17A, 17B-6B, 7A, 7B, 8A, 8B, 9A, 9B, 10A, 10B, 11A, 11B, 12A, 12B, 13A, 13B, 14A, 14B, 15A, 15B, 16A, 16B-5B, 6A, 6B-17B, 18A, 18B, 19A, 19B, 20A, dan 20B.
4. Analisa Perbandingan Teks
Temuan atas teks Sanghyang Siksa Kandang Karesian yang sama pada media tulis dan aksara yang berbeda menjadi menarik untuk ditelaah. Hal ini dapat menggambarkan tradisi penyalinan (dan penulisan) teks keagamaan yang dilakukan pada masa Sunda kuna. Menurut De Haan (dalam Baried: 56-57), teks-teks keagamaan biasanya merupakan teks yang tidak memungkinkan untuk diadakan penyempurnaan karena pengarangnya telah menentukan pilihan kata yang ketat dalam bentuk literer. Namun ternyata terdapat beberapa perbedaan yang ditemukan pada teks Sanghyang Siksa Kandang Karesian.
Mengenai perbedaan yang terdapat pada penyalinan teks, Martin L. West (1973) menyatakan bahwa dalam proses penyalinan itu tidak tertutup kemungkinan adanya kesalahan-kesalahan yang disebabkan oleh berbagai faktor. Bisa juga perubahan dalam teks adalah atas kemauan pengarang di masa hidupnya, seperti menambah atau menghilangkan bagian teks dari teks (Martin L. West, 1973 dalam Lubis, 2001:33)
Secara umum teks SSK 630 lebih lengkap daripada teks SSK 624. Namun teks SSK 624 rupanya juga memiliki bagian yang “melengkapi” teks 630, walaupun tidak banyak. Selain itu, ditemukan pula perbedaan ejaan dan penulisan atas beberapa kata pada kedua teks.
Berdasarkan perbandingan data yang tersedia penulis tidak dapat menyatakan bahwa teks 624 merupakan salinan atas 630, ataupun sebaliknya. Perlu dilakukan penelitian lebih mendalam atas berbagai kemungkinan sehubungan proses penyalinan teks Sanghyang Siksa Kandang Karesian ini.
Di bawah ini ditampilkan gambaran umum perbandingan teks:
-
Sinonim
Penggunaan sinonim atau persamaan nama ditemukan pada kata liman (624) dan gajah (630) yang memiliki arti yang sama: gajah.

- Haplografi pada teks 624
Dalam pembahasan mengenai ganggaman sang prebu (perkakas/senjata sang prabu), pada teks 624 tidak ditemukan kata pedang.

Pada teks 630 terdapat Haturwangi untuk salah satu nama pantun, sedangkan pada teks 624 tidak ada.

- Haplografi pada teks 630
Pada teks 624 terdapat kata kasangabelah (kesembilan belas) yang tidak terdapat pada teks 630.

- Teks 624 & 630 saling melengkapi8
Pada teks 624 terdapat Palembang, Siem dan Atas Angin namun tidak ditemukan pada teks 630. Pada teks 630 terdapat Pahang, Buwun, Mekah, Jenggi, Sapari, Gedah, dan Solodong, yang tidak ditemukan pada teks 624.

5. Penutup
Dari pengkajian atas naskah SKKL ini didapatkan beberapa informasi baru yang dapat menambah pengatahuan dalam khasanah pernaskahan Sunda kuna. Beberapa poin penting yang menjadi catatan atas pengkajian naskah ini yaitu: 1) Teks naskah Sunda kuna berbahan lontar tidak selamanya berbentuk puisi bermetrum, tetapi juga prosa didaktis; 2) Teks dengan kandungan isi yang sama (dapat) ditulis pada media tulis dan aksara yang berbeda; dan 3) Aksara sunda yang bernilai bilangan (angka) pada naskah lontar dapat ditulis dengan posisi diputar 180o dari arah baca.
Perbandingan antara teks SSK 624 dengan 630 menunjukkan beberapa perbedaan yang dapat dianggap “saling melengkapi” dan saling “mengoreksi”. Namun demikian perlu dilakukan penelitian yang lebih dalam atas proses penyalinan teks pada kedua naskah tersebut, sehingga harapan mendapatkan “akar” teks dan teks “murni” dapat tercapai.
Peninjauan lebih jauh terhadap temuan ini dapat diperbandingkan dengan keberadaan NSK lain yang telah diteliti, yang juga memiliki anomali, atau hal yang di luar dari kebiasaan NSK pada umumnya. Misalnya saja penulisan atau penyalinan teks dan bentuk teks pada NSK ternyata tidak terpaku pada pengunaan huruf, bahasa dan media tulis yang sama, melainkan lebih luas. Huruf, bahasa dan media tulis dapat dipergunakan secara silang pada NSK. Contohnya terdapat pada naskah-naskah berikut:
-
Carita Parahyangan (Aksara Sunda kuna-bahasa Sunda kuna-lontar-puisi);
-
Bima Swarga (Aksara Sunda kuna-bahasa Jawa kuna-lontar-puisi);
-
Siksa Kandang Karesian 630 (Aksara Buda-bahasa Sunda kuna-nipah-prosa);
-
Kala Purbaka (Aksara Buda-bahasa Sunda kuna-lontar-puisi); dan
-
Siksa Kandang Karesian 624 (Aksara Sunda kuna-bahasa Sunda kuna-lontar-prosa).
Penggunaan huruf (Sunda kuna/Buda), bahasa (Sunda kuna/Jawa kuna), media tulis (lontar/nipah), dan bentuk teks (puisi/prosa) yang tidak terpaku pada suatu aturan pengemasan baku, namun tetap dapat menunjukkan ciri kedaerahannya, menunjukkan bahwa akulturasi budaya pada masyarakat Sunda kuna tidak serta merta menghilangkan jati diti mereka sebagai urang Sunda. Dengan demikian dapat dikatakan pula bahwa masyarakat Sunda kuna memiliki sifat jembar, pemikirannya cukup terbuka terhadap perbedaan yang ada dan mampu mengelaborasikannya ke dalam bentuk lain, namun tetap dalam koridor identitas ke-Sunda-annya.
Daftar Pustaka
- Baried, Baroroh, dkk. 1983. Pengantar Teori Filologi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
- Danadibrata, 2006. Kamus Basa Sunda. Bandung: Kiblat Buku Utama.
- Danasasmita, Saleh et al. 1987. Sewaka Darma (Koropak 408), Sanghyang Siksakandang Karesian (Koropak 630), Amanat Galunggung (Koropak 632), Transkripsi dan Terjemahan. Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Direktorat Jendral Kebudayaan Depdikbud.
- Darsa, Undang A. et al. 2004. Darmajati Naskah Lontar Koropak 432 Transliterasi, Rekonstruksi, Suntingan dan Terjemahan Teks. Bandung: Universitas Padjadjaran.
- Gunawan, Aditia. 2009. Sanghyang Sasana Maha Guru dan Kala Purbaka: Suntingan dan Terjemahan. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI.
- Istadiyantha. 2008. Bahan Kuliah Laboratorium Filologi. Surakarta: UNS
- Lubis, Nabilah. 2001. Naskah, Teks dan Metode Penelitian Filologi. Jakarta: Yayasan Media Alo Indonesia
- Mardiwarsito, L. 1990.Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Jakarta: Nusa Indah.
- Nurwansah, Ilham. 20120. Kandaga Kecap dina Naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian (624) pikeun Bahan Pangajaran Maca di SMA. (Skripsi). Bandung: FPBS UPI
- Pusat Studi Sunda. 2010. Sundalana 9: Perubahan Pandangan Aristokrat Sunda dan Esai-esai lainnya mengenai kebudayaan Sunda. Bandung: Pusat Studi Sunda.
- PNRI. 2011. Jumantara: Jurnal Manuskrip NusantaraVol.2 No. 1. (Jurnal). Jakarta: Perpustakaan Nasional RI.
- Ruhaliah. 2004 Naskah Sunda Koléksi PNRI. Diktat penunjang Mata Kuliah Filologi, UPI Bandung.
- Suryani, Elis, NS. 2011. Ragam Pesona Budaya Sunda. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia
- Teeuw, A. & Noorduyn, J. 2009. Tiga Pesona Sunda Kuna. Jakarta: Pustaka Jaya.
- Tim Unicode Aksara Sunda. 2008. Direktori Aksara Sunda untuk Unicode. Bandung: Dinas Pendidikan Pemprov Jawa Barat.
- Wartini, Tien. 2010. Tutur Bwana dan Empat Mantra Sunda Kuna. Jakarta: PNRI-Yayasan Pusat Studi Sunda