Vivianne Sukanda-Tessier
Diterjemahkan oleh Aditia
Gunawan
Judul asli: “Note sur les
manuscrits soundanais (Java-Ouest)” dalam Bulletin de l’Ecole française
d’Extrême-Orient. Volume 79 N°1, 1992. pp. 277-280.
Kenyataan bahwa sebagian besar naskah
Nusantara tidak disimpan dalam koleksi publik, melainkan dimiliki secara
individu, membuktikan bahwa di Indonesia, naskah-naskah koleksi pribadi, sama
halnya dengan prasasti-prasasti dan berbagai temuan arkeologis, menjadi
salahsatu tujuan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas).
Sesungguhnya penemuan sebuah naskah sama pentingnya dan sama kompleksnya dengan
penemuan-penemuan patung, tempayan, atau benda-benda yang dikultuskan.
Sebagaimana halnya patung yang tidak akan « berbicara » tanpa kajian
ikonografis, tanpa adanya kajian filologis, kita tidak akan mampu
merekonstruksi kandungan naskah yang ditemukan di rumah penduduk atau di tempat
keramat (kabuyutan).
Sebuah penemuan arkeologis seringkali
merupakan peristiwa kebetulan — pembajakan, pembongkaran, penggalian; demikian
pula dengan naskah, penemuannya tidak dapat diperkirakan, sulit untuk
mengetahui di mana naskah-naskah itu berada, siapa pemiliknya, serta sulit
melakukan penyisiran sistematis pada wilayah etnis terkait. Naskah yang paling
banyak ditemukan adalah yang masih menjadi pusaka leluhur yang dikeramatkan
dan, karena itu, dilindungi secara ketat, hingga naskah tersebut hanya bisa
dilihat setahun sekali, dalam kesempatan upacara tradisional, ketika
dilantunkan mulai dari matahari terbenam hingga saat matahari terbit. Namun
demikian, betapapun kegiatan inventarisasi lengkap bahkan masih belum
memungkinkan dalam kondisi sekarang ini, inventarisasi terbatas yang telah saya
lakukan mulai dari tahun 1980 di wilayah Jawa Barat, bekerja sama dengan Dr.
Hasan Muarif Ambary (Direktur Puslit Arkenas), memungkinkan untuk mengumpulkan
sejumlah besar naskah, lebih dari 950 teks muslim yang diperoleh dari 52
koleksi pribadi.
Ada hubungan erat antara situs arkeologi
terkenal dan keberadaan (biasanya diabaikan) naskah di daerah sekitarnya.
Sebaliknya, daerah yang kaya akan naskah memungkinkan kita untuk menemukan
kembali situs-situs yang terlupakan. Banyak contoh, seperti Gunung Padang,
Bojong Galuh, Pamarican, Talaga dan tempat-tempat lainnya. Ini adalah hubungan
yang samar, tetapi menjadi jelas bagi kami, yang membuat kami berbicara tentang
« arkeo-filologi » .
Penelitian yang dilakukan bersama
dengan Puslit Arkenas telah mengantarkan pada pembentukan sebuah koleksi
penting (beberapa naskah telah disumbangkan atau dipinjamkan kepada Puslit
Arkenas, dan, sedapat mungkin, semuanya telah difotokopi ; koleksi ini juga
telah dimikrofilmkan oleh Ford Fondation pada bulan Juli-Agustus 1990),
disertai penyusunan katalog yang tebal. Katalog ini akan terbit di Jakarta.
Dalam kesempatan ini kami tidak akan memberikan sebuah deskripsi, tetapi kami
akan membatasi diri pada pandangan yang lebih umum tentang naskah-naskah Sunda
dan masalah-masalah yang muncul dari penelitian dan kajian terhadapnya.
Tempat-tempatnya
Di samping naskah-naskah yang berasal
dari kelompok menak yang sebagian besar dirawat oleh keturunan kaum menak
terdahulu di pusat-pusat pemerintahan, dan secara umum tidak lagi dibacakan
atau dilantunkan, misalnya Cariosan Prabu Silihwangi dan Babad
Ratu Galuh, naskah-naskah lain berada di tempat-tempat keramat (kabuyutan),
di tempat seorang juru kunci (kuncen) yang memiliki hak untuk merawat
pusaka, atau di tempat penduduk, yang kemudian, dalam berbagai kondisi,
dianggap sebagai pusaka bersama.
Meski secara alamiah, sama halnya
dengan tosan aji (keris, bedog, kujang) dan batik (kain sinjang), naskah-naskah
diwariskan oleh leluhur umumnya kepada anak tertua, naskah-naskah itu sering
dipinjamkan untuk kegiatan ritual keluarga atau kelompok masyarakat. Dengan
demikian kita menemukan tradisi yang masih hidup, dan dapat kita bayangkan
betapa susahnya meminjam naskah kepada orang-orang yang memiliki peran
sosio-kultural yang sangat penting bagi keberadaan sebuah komunitas.
Pemilik naskah kebanyakan adalah
petani, yang melestarikan adat istiadat, sehingga naskah hanya dibacakan dan
dilantunkan pada kesempatan upacara-upacara pertanian. Inilah yang menjelaskan
bahwa kita terkadang harus pergi jauh ke gunung agar dapat menemukannya dan
bahwa tradisi naskah berkaitan dengan seni suara yang hampir punah, yaitu beluk,
yang hanya terdapat pada masyarakat pegunungan.
Akhirnya, naskah-naskah keagamaan
(fikih, kisah para Nabi, karya-karya tarekat, cerita-cerita Islam, dan lain-lain)
lebih sering dipelihara secara pribadi, baik di rumah penduduk, di rumah tokoh
agama (lebé, ajengan, kiyai), maupun di sekolah-sekolah agama (pasantrén, madrasah).
Pelestarian dan
« penghancuran »
Akibat penggunaan rutin dan
pemeliharaan yang seadanya, pemeliharaan yang dilakukan oleh perorangan
menghadapi tantangan. Naskah-naskah mengalami penurunan kualitas secara cepat,
biasanya dua atau tiga kali dalam satu abad, menjadi objek produksi sebuah
salinan, atau beberapa salinan, ketika eksemplar lebih tua sudah tidak dapat
terbaca, terlipat, menghitam oleh waktu, terasapi oleh api, terkotori sidik
jari, serta memucat dimakan jaman. Naskah salinan, seringkali proses menyalin
itu sendiri, adalah hal yang mahal, sementara profesi penyalin masih berkembang.
Salinan dalam aksara arab (pegon) lebih banyak dibandingkan dengan salinan
dalam aksara jawa atau sunda, sejak akhir paruh pertama abad ke-20.
Naskah-naskah yang tidak lagi
digunakan tidak dibuang ataupun disingkirkan. Dalam upacara kuno yang sulit
ditentukan asal-usulnya, selain yang disimpan di tempat keramat (kabuyutan),
naskah dibakar secara ritual, naskah yang baru saja disalin ditempatkan di
dekatnya, sementara asap dupa dibumbungkan dan pemiliknya atau kepala adat (puun)
membacakan doa-doa (rajah) untuk dewa Hindu-Budha. Abu-abu dikumpulkan
secara agama, sebagian dipersembahkan kepada dewa dan yang lainnya disimpan
dalam cangkir, yang ke dalamnya dituangkan air mendidih, kemudian diminum oleh
pemimpin upacara. Ayah Nata, berusia hampir seratus tahun, tinggal di
Baros (Bandung selatan), menjelaskan kepada saya bahwa aksara-aksara itu tidak
dapat hilang, melainkan akan kembali ke asalinya, satu sisi kepada sang
pencipta, sisi lainnya kepada manusia, yaitu orang yang diberikan amanah. Itulah
sebabnya pemilik dapat meminumnya, atau mewakilkan haknya kepada pemuka adat
apabila dia tidak dapat mengetahui mantra-mantra untuk dilafalkan.
Ayah Nata telah memilih untuk meminum
ramuan (ci kopi) ini, setelah membaca mantra sebagai berikut:
Ahung (tujuh kali),
Ampun, ampun wahai Sang Asal
Aku memohon ampun segala ampun
Asap dupa membumbung tinggi ke atas
Ke atas, kepada Sang Asali
Ke bawah, kepada Sang Batara
Kepada dewa dan dewi
Kepada dewa Naga Raja
Kepada dewi Naga Umpi [bawah tanah]
Kepada Pohaci, putih, suci [Sri]
Putra Siwa, Tuhan angin
Aku memohon ampun, ya, ampun
semua yang di kahyangan, aku mohon perlindungan
Ahung! [tiga kali]
Kemudian beliau menjelaskan bahwa
dalam tegukan penghujung ini, tulisan menjadi, dalam arti harfiah, makanan bagi
jiwa dan tubuhnya. Tradisi ini diamati pada tahun 1981 di Baros, yang juga
tergambar dalam naskah (ms. no. 66). Tanpa mengatakan bahwa ada pinjaman,
meskipun hanya identitas, kita dapat melihat sebuah kedekatan dengan
« pengorbanan karya-karya tulis » yang dipraktekkan dalam ritual
Taoisme pada masa Cina kuno sebagaimana dikutip K. Schipper, yang terdiri
dari pembakaran serta pelarutan abu-abu naskah.
Tetapi jenis pengrusakan lebih banyak
terjadi akibat gejolak politik. Perang kemerdekaan (1945-1949), kemudian
pemberontakan Kartosuwiryo (1951-1962) telah menciptakan suasana
ketidaknyamanan dan, ketika laki-laki yang sehat secara fisik jauh dari kampung
halamannya, telah memicu terjadinya penjarahan, pembakaran dan pencurian.
Kemudian, tepatnya pada tahun 1965-1970, sektarianisme otoritas muslim
tradisional, yang menganggap bahwa tulisan-tulisan leluhur sebagai bid’ah, juga
menjadi penyebab pemusnahan. Untungnya beberapa universitas, yang salah satunya
dilaksanakan oleh M. Atmamihardja, menjadi aktor yang mengambil peran, dengan
menempatkan kajian naskah-naskah lokal dalam program tugas akhir di Universitas
Padjadjaran dan Universitas Pendidikan Indonesia.
Peran sosio-kultural
Di samping naskah-naskah berbahan
« kertas » yang diproduksi secara tradisional dari kulit kayu (daluwang),
naskah-naskah Islam, yang katalognya baru saja kami selesaikan, ditulis pada
kertas Eropa. Kami memahami bahwa, dengan keadaan iklim dan proses konservasi
yang rentan, menjadi sangat langka untuk menemukan naskah-naskah dari sebelum
abad ke-18. Bagaimanapun tampaknya naskah-naskah tersebut merupakan hasil dari
tradisi baru. Meskipun masyarakat Sunda di Jawa Barat tidak selantang
tetangganya Jawa, teks-teks pra-Islam rupanya sangat melimpah, terlebih lagi
teks-teks yang lebih kontemporer dari berbagai gelombang islamisasi.
Pada masa yang lebih silam (abad
ke-14-15), kronik-kronik mengabadikan reaksi dan perjuangan para pangeran untuk
tetap memegang erat agama Buddha mereka yang gagal menghadapi proses Islamisasi
yang pertama. Ada banyak contoh dari teks-teks ini, yang penting untuk
mengetahui sejarah salah satu daerah di Jawa, bukan hanya bersandar pada cerita
barat dan interpretasi yang tergesa-gesa, seperti yang terdapat pada
« sejarah » Banten, Pajajaran dan Cirebon, untuk menyebut beberapa di
antaranya.
Pada periode pertama kesultanan,
sebuah aktifitas sastra yang intensif berusaha menghubungkan kembali sebuah
silsilah penguasa muslim pada keturunan kerajaan pra-Islam, yang kekuasaannya
mencakup segalanya, untuk tetap didalami, untuk mengklaim legitimasi yang
dipinjam dari dinasti agung yang terakhir. Dengan demikian Prabu Silihwangi
menjadi salah satu penguasa karismatik di mana orang Jawa dan Sunda tidak
kehilangan klaim tentang asal-usul yang sama.
Kegiatan sastra ini dapat ditandai
sampai akhir abad ke-18, berkat silsilah-silsilah dan karya-karya sastra, dalam
bahasa Arab dengan daftar kata Jawa atau Sunda, kitab-kitab fikih, dasar-dasar
Islam (tauhid), legenda orang-orang suci islam, tarekat dan mistik-sufisme.
Naskah-naskah ini, dalam tradisi yang
masih berlangsung di pesisir Jawa termasuk Banten dan Cirebon, menggambarkan
sebuah halo prestisius di sekitar keyakinan baru, pada saat merayakan
pahlawan-pahlawan keturunan orang suci (seringkali keturunan dari: Adam, Musa,
Iskandar Agung, Nabi Hidir, atau Silihwangi) yang diubah perannya, yang
menunjukkan rasa adil dan murah hati sebagai sebuah model manusia sempurna (insan
kamil), menghadapi musuh-musuhnya yang perannya juga telah diubah.
Setelah kesultanan yang fana ini
jatuh, kegiatan sastra berlanjut sampai abad ke-20, sehingga kita dapat
berbicara tentang gelombang ketiga dalam proses islamisasi, baik secara populer
maupun secara akidah. Karya-karya ini terdiri dari karya-karya keagamaan,
ketekismus (Islam), hagiografi (kisah orang suci), kronik-kronik islamisasi,
siklus fiktif (seperti Suryaningrat-Naganingrum), kisah yang dipinjam dari
korpus besar melayu-islam, termasuk juga adat, ditulis dalam aksara arab (pégon),
hasil pengetahuan pra-islam yang diserap oleh islam: perhitungan penanggalan,
perbintangan (dalam hal ini menunjukkan keasliannya), kalender, mantra-mantra (jangjawokan),
doa (rajah) dan formula magis lainnya (mantra) atau kutukan, dan
teks yang terkait dengan pengultusan Nyi Pohaci Sanghyang Sri, dewi padi dan
tumbuhan. Menahbiskan tempat-tempat suci dan memperingati tentang bagaimana
Islam kesulitan menancapkan pengaruhnya, teks-teks memberikan kesaksian dari
sejarah kecil ini; teks-teks tersebut merupakan sebuah kekayaan historiografis,
yang melengkapi tradisi lisan.
Dipuja sebagai pusaka leluhur dan
seringkali dikeramatkan, naskah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
kehidupan keluarga dan kelompok masyarakat. Tidak ada peristiwa besar — upacara
pribadi, panen, penyucian rumah atau kampung, penebusan, peringatan hari
keagamaan — dapat terjadi tanpa naskah-naskah yang menjadi saksi hidup mereka
dalam kebersamaan sebuah kelompok masyarakat.
Dibacakan oleh seorang pembaca,
naskah-naskah lalu dinyanyikan bersama oleh semua hadirin. Kegiatan pembacaan
atau penyalinan membuat seorang yang dapat membaca teks-teks dalam aksara Arab
berada pada sebuah posisi sosial yang diidamkan: mereka adalah penjaga
pengetahuan, menjadi pesan dari tulisan suci.
Elemen filologis
Hanya studi perbandingan teks, di
samping analisis karakteristik eksternal naskah, yang memungkinkan kita untuk
memutuskan apakah terdapat salinan atas suatu naskah ataukah naskah tersebut
merupakan naskah tunggal (unicum). Naskah-naskah yang sampai pada kami
relatif baru, tetapi dalam beberapa kasus, warisan linguistik dan budaya
memungkinkan kita untuk menentukan waktu penyusunan teks asli. Dari sudut
pandang ini, naskah-naskah Nusantara memerlukan sebuah pendekatan spesifik,
dengan memperhitungkan aksara, bahan, aturan puitis dan berbagai karakterisik
budaya dari etnis yang bersangkutan.
Dalam kasus naskah-naskah Sunda baru,
mukadimah (manggala) dan kolofon, terlepas dari ketidak-akuratannya,
memberikan keterangan pada kita tentang waktu penyalinan, penulis dan
sponsornya, termasuk juga harganya. Naskah-naskah sering juga mengandung
perintah yang ditujukan bagi pembaca, mendesaknya untuk merawat naskah serta
berkonsentrasi dengan cara melafalkan mantra, sebelum mengenalkan isinya lebih
jauh kepada khalayak luas, dan agar jangan pernah memindahtangankannya kepada
peminjam yang lain.
Karya-karya pengajaran teks-teks dasar
keislaman pada umumnya ditulis secara tepat dan dengan gaya kaligrafis.
Teks-teks dalam bahasa Arab biasanya ditulis dengan hati-hati; sebaliknya,
naskah yang ditulis dalam bahasa Sunda dan aksara Arab (Pegon), tata-tulisnya
seringkali diabaikan serta mengandung banyak kesalahan ejaan.
Ketika kita dihadapkan pada sejumlah
salinan dari berbagai daerah, perbandingan yang cermat dari
karakteristik-karakteristik dan isinya diperlukan untuk menentukan naskah mana
yang lebih layak disunting secara kritis. Dalam ketiadaan hasil inventarisasi,
kita sepatutnya berterima kasih kepada penemuan baru, yang akan meruntuhkan
hasil kajian yang sudah mapan sebelumnya berkat tersedianya naskah salinan. Dalam
hal apapun, penyusunan stema, dalam kondisi seperti ini, sangat tidak pasti dan
berisiko.
Di atas semua kajian filologis, baik
secara sastra maupun sejarah, berdasarkan naskah yang tak terhitung jumlahnya,
yang disimpan dalam jumlah yang lebih besar dari yang ada dalam koleksi publik,
sebuah tugas inventaris, sesistematis mungkin, dengan demikian menjadi penting.
Tugas yang berat dan melelahkan, memang, tetapi harus dihargai karena,
sebagaimana dalam arkeologi, setiap penemuan baru kaya akan makna.