Hayati Mayang Arum, Giat Mengenalkan Aksara Sunda

Hayati Mayang Arum

Kairaga.com — Tak banyak generasi muda yang mendedikasikan waktu, tenaga dan pikirannya untuk melakukan kegiatan positif yang bermanfaat bagi masyarakat. Hayati Mayang Arum adalah salah satunya. Gadis yang akrab dipanggil Ai ini memiliki kepedulian yang besar terhadap aksara Sunda agar masyarakat lebih mengenal aksara Sunda, sebagai lambang jatidiri budaya Sunda.

Ia mengaku pertama kali mengetahui aksara Sunda ketika di sekolah dasar. Bukan dari guru, tetapi tidak sengaja saat membereskan buku di lemari kelas. Kebetulan saat itu menjadi ketua murid sehingga memiliki rasa tanggung jawab yang lebih terhadap barang-barang di kelas. Ketika membereskan buku tidak sengaja menemukan buku bahasa Sunda yang pada halaman akhirnya terdapat aksara Sunda (tetapi aksara Cacarakan). Dari situ muncullah ketertarikannya untuk bisa membaca dan menulis aksara Sunda. Ia mulai mempelajari tulisan itu meskipun belum tahu bacaannya.

Ketika masuk SMP Ai semakin rajin mengumpulkan buku-buku. Ia menemukan buku yang berisi aksara Sunda, kali ini aksara Sunda baku (kaganga) yang membuatnya bingung, kenapa bentuknya berbeda dengan aksara Sunda sebelumnya. Lalu dipelajarinya lagi menulis, tetapi masih belum bisa membacanya karena tidak ada pelajarannya dan tidak ada yang mengajarkan juga.

Barulah setelah di SMA kelas satu mulai memahami lebih baik aksara Sunda karena sering membaca dan berlatih. Semakin sering berlatih semakin paham. Sampai-sampai atas rasa prihatin di sekolahnya tidak ada yang mengajarkan dan menerangkan aksara Sunda, ia membuat sebuah komunitas Pelajar Budaya Mandiri untuk belajar aksara Sunda bersama-sama.

Berbagai kegiatan telah ia ikuti, di antaranya pernah mengikuti lomba menulis aksara Sunda, tetapi tidak juara karena waktu itu masih awal belajar aksara Sunda. Ia pernah mengadakan berbagai kegiatan di komunitas Plasa Bumi, untuk belajar aksara Sunda bersama-sama dengan konsep sekolah alam di ruang terbuka publik, dengan peserta hingga mencapai puluhan orang. Lalu pernah juga mengadakan “kongkow aksun” di situs Astana Gede untuk belajar membaca aksara Sunda langsung dari prasasti. Ia mengajukan kepada pemerintah agar menggunakan aksara Sunda pada plang-plang jalan.

Selain itu Ai berperan sebagai penggerak aksi solidaritas untuk mengajak masyarakat agar mengenal aksara Sunda dengan sosialisasi. Dalam aksi itu masyarakat diminta untuk menandatangani petisi pada kain sepanjang 25 meter sebagai aspirasi kepada pemerintah agar melestarikan aksara Sunda.

Jam Sunda

Karya yang dihasilkan mahasiswa departemen Pendidikan Bahasa Daerah UPI ini di antaranya beberapa papan nama beraksara Sunda di situs-situs, kaos-kaos beraksara Sunda, dan yang terbaru adalah jam dinding dengan aksara Sunda.

Putri kelahiran Ciamis ini berharap agar aksara Sunda dapat diterima di hati masyarakat Sunda, terutama oleh kalangan muda, “Harepan mah seueur, salah sahijina sangkan aksara Sunda tiasa sumarambah kana bayah masyarakat Sunda”, katanya. Ia mengharapkan para sepuh untuk tidak menutup diri, dengan alasan karena mengetahui aksara Sunda adalah Cacarakan, lalu tidak ingin belajar aksara Sunda baku. Apalagi bagi guru. “Nu sepuhna ogé ulah menutup diri, kéna-kéna terangeun aksara Sunda téh Cacarakan, teras alim diajar.” tambahnya. Untuk ke depannya, ia sangat berharap aksara Sunda dapat menjadi ikon budaya yang khas, terutama di Kabupaten Ciamis.

1 Comment

Add a Comment
  1. Sae pisan…ngiring bingah tos aya generasi muda nu micinta basa sareng aksara sunda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *