Kisah Kawung di Banten

Pohon apakah yang setiap bagiannya bermanfaat? Jawabannya adalah kawung. Bogornya digunakan untuk tiang rumah atau lumbung padi, atau barera untuk menenun; empulurnya dibuat sagu; akarnya dihadikan pecut, atau dijadikan obat untuk orang yang baru melahirkan; kawul-nya (sejenis lumut berwarna coklat) untuk bahan korek api; seratnya dijadikan tali untuk mancing; ijuknya untuk bubungan rumah atau tali tambang; lidi harupatnya dijadikan kalam (pena) oleh para santri; kulit pelepahnya dijadikan tutup botol; lidinya dijadikan sapu; daun mudanya dijadikan rokok; langgari-nya dijadikan tongkat; kolang-kalingnya (caruluk) dijadikan bahan makanan atau tasbih. Belum lagi kuliner lokal yang bisa dikembangkan: bajigur (air gula aren  dan santen), bandrék, dawet (air dicampur santen dan dagingnya dari tepung aren), jojongkong (dibuat dari tepung ketan campur santen berisi gula aren), katimus(pepes singkong di dalamnya berisi gula aren), atau yang khas Banten Kidul, yakni intil (dari nasi dicampur gula kawung dan kelapa parut).

Sebelum menjadi industri, sejak dulu kala masyarakat Banten telah lama memanfaatkan pohon ini. Rupanya pohon kawung, sebagaimana padi, adalah pohon yang disucikan oleh orang Banten pada umumnya dan orang Kanékés khususnya. Dua buah naskah yang sekarang tersimpan di Perpustakaan Nasional, berjudul “Babad Kawung Baduy (nomor naskah SD 99) dan Babad Kawung di Distrik Lebak (SD 64)” menampilkan informasi tentang pemanfaatan pohon suci ini pada akhir abad ke-19. Naskah pertama, merupakan hasil pemeriksaan Radén Kanduruan Atmakusuma, Wedana Distrik Lebak berdasarkan keterangan dari Sarmah, Jaro Kanékés, dan Jasmah Tasinem, tetua kampung Cibéo dan Jaéni sesepuh kampung Kaduketug di désa Kanékés. Naskah yang kedua, juga merupakan pemeriksaan Raden Atmakusuma, wedana distrik Lebak, kepada Ayamad lurah desa Kalurahan serta disepakati oleh Jasa’id jaro desa Sapan, dan Sudini Jaro Sinapati, serta orang yang dipertua dari Pasirangin desa Lebak, dan Aki Arnati alias Armain. Naskah tentang kawung ini termasuk kelompok naskah dengan tema yang sama, yang dikumpulkan oleh berbagai kepala daerah untuk K.F. Holle, sebelum menjadi koleksi Masyarakat Seni dan Pengetahuan Batavia.

Kedua naskah mengandung uraian yang sama, yaitu mendeskripsikan produksi kawung menjadi gula dari awal sampai akhir. Menurut naskah Babad Kawung Baduy, jenis kawung ada tiga: kawung bener, yaitu yang pohonnya besar berdaun lebar, ijuknya tebal membungkus pohon, lidi dan lengannya panjang dan besar. Yang kedua, adalah kawung Saéran, pohonnya kecil, pelepahnya panjang, buah cengkalengnya juga kecil. Jenis ketiga, adalah kawung banén, pohonnya kecil, ijuknya tebal, pelepahnya pendek.

Di Kanékés, kawung tidak secara sengaja dipelihara, menurut keterangannya: “Aja kawoeng djadi oge asal tahi tjareuh baé, saha djělěma noe heula manggih” (Adapun kawung yang tumbuh, dari kotoran musang (careuh) saja, [diperuntukkan bagi] siapa saja yang menemukannya terlebih dahulu). Bagi orang Kanékés Kajeroan, kawung tidak dijadikan gula karena terlarang (buyut cadu), hanya diambil lahangnya yang disebut wayu sebagai minuman. Meski demikian, di Baduy luar, gula kawung tetap diproduksi.

Pohon ini mendapat tempat istimewa dalam kosmologi Sunda kuno. Pemuliaan kawung ini tidak terlepas dari sumber mitologi terhadapnya, sebagaimana misalnya tertuang dalam Lakon Budug Basu, sumber yang tertua sejauh ini dan Wawacan Sulanjana, versi puisi yang lebih muda. Dalam kisah-kisah ini digambarkan bahwa pohon kawung berasal dari kemaluan Sang Hyang Pohaci. Dalam naskah tersebut dikisahkan Semar ditugasi menunggu sebuah sawah subur di wilayah Pakuan oleh Dewi Sri. Batara Guru dan Narada menjadi burung pipit untuk memeriksa apakah padi itu dijaga dengan baik. Semar dan anak-anaknya marah karena tanaman diganggu burung pipit, lengan pohon kawung dipotong oleh Semar sehingga mengeluarkan rasa manis. Itulah mengapa, ketika hendak menyadap kawung, panyadapmelafalkan jangjawokan sebagai berikut dengan harapan air lahangnya melimpah:

Poen kawoeng kengkeng kawoeng bingkeng

diteunggoer koe boedak kereng

pakěrěng-kěrěng

doek tjereleng-doek tjereleng-doek tjereleng.”

Di wilayah Sunda yang lain, seperti di wilayah Galuh, kawung diperlakukan sebagai perempuan. Ia dianggap jelmaan Dewi Sri. Bahkan ketika penyadap hendak menyadap menggunakan sigay (seutas bambu untuk memanjat kawung), para penyadap ini ‘menyapa’ pohon seolah-olah pohon itu kekasihnya:

Tjawene beser aja tjalik?” Dijawab koe oerang keneh bae,

“Aja!”

“Soeka sija ditikah koe aing?”

“Soeka!”

“Tarima sija dibebekkeun nja bajoe?”

“Tarima!”

“Sija dilaan nja samping?”

“Tarima!”

Ari geus tarima mah tetela anak rabi aing toeloej dirangkoel ditangkeup hartina jen geus jadi pamajikan.

“Adakah perawan beser sedang duduk” dijawab oleh kita sendiri,

“Ada!”

“Engkau mau aku nikahi?”

“Suka”

“Kau terima dirobek baju?”

“Terima!”

“Dibuka kainmu?”

“Terima!”

Setelah menerima, sudah terang [engkau] anak istriku, lalu dirangkul dan dipeluk, artinya sudah menjadi istri.

Orang Menyadap Kawung – Koleksi Tropenmuseum

Personifikasi di atas jelas bersumber dari tradisi agraris yang kuat di masyarakat Banten, selain dari budaya bahari yang menonjol. Jika di wilayah lain segala bagian dari pohon aren dimanfaatkan, di wilayah Kanékés, hanya bagian-bagian tertentu saja yang diambil manfaatnya, antara lain ijuknya dijadikan bubung atap rumah, empulurnya dijadikan sagu, humbutnya dimakan, daunnya dijadikan penadah padi, dan lidinya dijadikan bubu.

Menurut data dari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Banten, Provinsi Banten memiliki dalam pengembangan komoditas aren. Areal perkebunan aren tersebar di dua kabupaten yaitu di Kabupaten Lebak (1.717 ha) dan Pandeglang (1.220 ha). Sentra perkembangan tanaman aren Provinsi Banten adalah di Kabupaten Lebak, yang terkonsentrasi di 6 (enam) kecamatan, yaitu : Kecamatan Cijaku, Muncung, Gunung Kencana, Bojong Manik, Leuwidamar dan Panggarangan.

Salah satu bentuk produk yang banyak diusahakan oleh petani aren di Kabupaten Lebak adalah gula aren. Pemanfaatan nira menjadi gula merupakan alternatif dalam mengisi kekurangan gula pasir di Indonesia, walaupun tidak selamanya posisi gula pasir dapat digantikan oleh gula merah atau gula semut. Produksi gula aren di Kabupaten Lebak yaitu dari enam kecamatan sentra produksi sebesar 1.202,80 ton/tahun yang dihasilkan dari 24.615 pohon, sehingga setiap pohon aren diprediksi mampu menghasilkan 48,86 kg/pohon/tahun.

Mempelajari seluk beluk pohon ini, dari mulai karakteristik, pemanfaatan hingga aspek sosio-kultural yang melingkupinya sangat penting agar kelestarian salah satu pohon yang dilindungi ini tetap terjaga atau malah dapat dijadikan potensi ekonomi pertanian yang unggul. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *