Kembalinya “Bujangga Manik”

Oleh: Atep Kurnia

Alkisah, terjadi pencurian karya bangsa Indonesia oleh perantau Inggris di negeri ini, akhir abad ke-16. Ia pulang ke negerinya awal abad ke-17, membawa dua naskah kuno dari Jawa Barat. Dialah Richard James. Bisa jadi ia ikut ekspedisi penjelajah Inggris ke Nusantara (1579-1611). Bisa jadi juga ikut berlayar Sir Francis Drake (1580) ke Pulau Jawa; atau Sir Thomas Cavendish (1587); atau ikut Sir James Lancaster (1601) ke Banten. Saat itu, mungkin ia memperoleh naskah.

Kedua naskah, Rasacarita dan Bujangga Manik, diserahkan Andrew James (kakak Richard) ke Perpustakaan Bodleian, Oxford, Inggris, tahun 1627. Adik bungsu Andrew, Thomas James (1574-1629), pustakawan pertama Perpustakaan Bodleian.

Pengelana Pakuan

Sekian ratus tahun lewat, J Noorduyn (1926-1994), filolog Belanda, mengingatkan lagi pada salah satu naskah, Bujangga Manik. Tahun 1968, sebagai Sekjen KITLV, memungkinkannya menelusuri jejak-jejak naskah Sunda kuno ke luar negerinya.

Penemuan naskah Bujangga Manik menarik dan banyak hal dipetik darinya. Mungkin itu alasan J Noorduyn memilih menjadi fokus kajian. Naskah tentang pangeran pengelana dari Istana Pakuan, Kerajaan Sunda, yang dua kali berkunjung ke Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan ke Bali awal abad ke-16—sebelum runtuhnya Malaka ke tangan Portugis (1511)— merupakan teks multidimensi.

Dari sisi geografi, naskah ini merinci ratusan nama daerah, gunung, dan sungai yang dilewati tokoh bernama Bujangga Manik atau Perebu Jaya Pakuan atau Ameng Layaran saat menjelajah Pulau Jawa dan Bali. Dari sisi sejarah menarik, meski tak langsung, penuturan Bujangga Manik, di antaranya berhubungan dengan Majapahit yang belum pindah ibu kotanya dan Malaka sebelum dikuasai Portugis.

Dari sisi literasi menarik. Bisa jadi model, bagaimana orang Sunda, khususnya yang terpengaruh agama Hindu dan Buddha, awal abad ke-16, menuntut ilmu.

Saat pergi dari Istana Pakuan, Bujangga Manik menyandang tas berisi buku, ”Saa(ng)geus nyaur sakitu/dicokot ka(m)pek karancang/dieusian apus ageung/dihurun deung siksa guru/….” Kutipan itu mengisyaratkan kepemilikan buku. Saat itu, buku keistimewaan kaum agamawan, bangsawan, dan cendekiawan. Bujangga Manik, kombinasi bangsawan dan agamawan. Pangeran itu meninggalkan istana dan berziarah ke tempat suci di Jawa dan Bali.

Membaca nyaring

Di antara bahan/media, yang digunakan bahan tulis untuk golongan atau naskah keagamaan adalah nipah, ditulis dengan tinta hitam, berbentuk prosa liris, dan berbahasa Kawi. Adapun naskah lontar yang bukan untuk alat tulis di kabuyutan, ditulis dengan cara digores pisau pangot (pengutik), berbentuk puisi, dan berbahasa Sunda kuno, juga Kawi.

Cara baca paling mungkin saat itu adalah membaca nyaring. Ini penegasannya pada naskah Kisah Putra Rama dan Rawana. Ada adegan ketika sang pendeta yang dititipi anak Sita sedang membaca buku, ”…tucap aki Hayam Canggong/eukeur ngayun-ngayun boncah/t(e)her maca Watang Ageung/Ruana to(ng)goy milangan.”

Kata-katanya dianggit bersajak, berirama. Merdu di telinga. Itulah yang diisyaratkan membaca nyaring. Membaca saat itu, meski bisa sendiri, umumnya dilakukan bersama-sama. Seseorang membaca lantang, yang lain mendengarkan dengan khidmat.

Saat itu, di skriptorium Eropa, tempat penulisan dan penyimpanan naskah, berlangsung kebiasaan membaca nyaring. Membaca dalam hati berkembang setelah pendeta Irlandia membuat tanda baca pada abad ke-10.

Naskah Bujangga Manik, termasuk Kisah Putra Rama dan Rawana yang diteliti A Teeuw dan J Noorduyn (Three Old Sundanese Poems, 2006), mengetengahkan satu fase literasi yang telah dan mungkin masih berlangsung di kalangan orang Sunda, khususnya: menulis naskah dan membaca nyaring. Juga fase ketika lembaga penjaga ilmu pengetahuan, dalam hal ini kabuyutan, memainkan peran layaknya perpustakaan kini.

 ATEP KURNIA Peneliti Literasi di Pusat Studi Sunda

 

sumber: http://olahraga.kompas.com/read/2012/06/18/02230641/Kembalinya.Bujangga.Manik

Author Avatar
Ilham Nurwansah

Admin Kairaga.com. Tulisan-tulisannnya dimuat di surat kabar dan majalah. Ilham sering diundang sebagai pemateri seminar maupun workshop tentang naskah dan aksara Sunda. Selain itu, ia juga merupakan pemerhati naskah dan aksara Nusantara dalam dunia digital. Baca juga tulisan-tulisannya yang lain di blog inurwansah.my.id.

Suka dengan konten Ilham Nurwansah ? Kamu bisa memberikan dukungan dengan mentraktir kopi atau bagikan konten ini di media sosial.

0 comments and 0 replies

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *