Babasan dan Paribasa Sunda Kuna

Aditia Gunawan

Ajip Rosidi dalam pengantar bukunya Babasan jeung Paribasa: Kabeungharan Basa Sunda, menerangkan bahwa babasan (ungkapan) dan paribasa (peribahasa) merupakan ungkapan bahasa yang telah tetap, digunakan untuk menyampaikan maksud dari yang menyatakannya secara tidak langsung, tetapi akan dimengerti oleh orang yang mendengarkannya, karena bersama-sama hidup di alam budaya yang sama.

Dalam teks-teks Sunda kuna yang telah diumumkan, banyak ditemuakn ungkapan yang mengandung metafora. Beberapa dari ungkapan itu ada yang bermetafora klise. Ada dua kemungkinan dari hal itu. Pertama, seperti yang telah dijelaskan oleh Teeuw, bahwa ungkapan seperti itu merupakan stok yang membawa cerita, sebab teks Sunda kuna yang berbentuk puisi pada mulanya berasal dari tradisi lisan. Kedua, bisa saja ungkapan-ungkapan ituklise, jadi kebiasaan, jadi babasan dan paribasa yang sering dipakai baik secara lisan maupun dalam bahasa tulisan. Pendapat itu didasarkan adanya bagian yang sama antara ungkapa klise dengan babasan paribasa yang saat ini masih dikenali dan dipakai.

Babasan paribasa yang disebutkan di dalam tulisan ini diambil dari beberapa sumber Sunda kuna, antara lain Paraputra Rama dan Rahwana (PRR), Sri Ajnyana (SA), Bujangga Manik (BM), Kosmologi Urang Sunda (KUS), Sewaka Darma (SD), dan Carita Parahyangan (CP). Jika dibandingkan dengan babasan dan paribasa Sunda sekarang, paling tidak dari data-data di bawah, babasan dan paribasa Sunda kuna bisa dikelompokkan menjadi tiga jenis.

Dati teks-teks yang disebutkan di atas, dapatlah dibedakan tiga jenis babasan dan paribasa, ditinjau dari isinya secara diakronis. Pertama, babasa dan paribasa yang dikenali oleh kita saat ini, karena ungkapannya sama, misalnya:

– séngsérang panon (PRR: 528) = Anak yang sedang masa puber, pantas dilihat. Babasan ini masih dipakai hingga sekarang.

– supagi baring geus gedé (PRR: 845) = Besok nanti kalau sudah besar. Dalam babasan sekarang dibalik menjadi baring supagi.

– dék maleskeun jurit pati (PRR: 846) = Membalas kematian dengan cara peperangan.

Kedua, babasan dan paribasa yang artinya hampir mirip, tetapi ungkapannya agak berbeda, misalnya:

Handaru nerusan gunung, ngocéak maracan désa, ngajerit maracan langit (PRR: 108) = Menunjukkan keadaan nelangsa atau sakit hati yang amat sangat. Diungkapkan oleh Deuwi Sita ketika disakiti hatinya oleh suaminya, Ramadewa, yang tidak percaya terhadap kesucian dan kesetiaannya. Dalam kata maracan suara c berubah menjadi t dalam bahasa Sunda sekarang, menjadi maratan.

– satuduh metu, sakecap meretiaksa (PRR 464). Satuduh metu secara harfiah mengandung arti segala yang ditunjuk (biasanya jari telunjuk) biasanya menjadi nyata, sedangkan kata sakecap meretiaksa artinya segala sesuatu yang diucapkan menjadi nyata. Meretiaksa asalnya dari kata Sansekerta pratyakṣa, artinya ‘jelas terlihat mata, nyata’. Artinya, segala rupa yang dimaksud, akan menjadi nyata karena kekuatan orang yang memiliki maksud itu. Biasanya diterapkan untuk manusa luhur, yang bukan sembarangan, yang besar pengaruhnya. Dalam kisah PRR pengaruh itu ada di Aki Hayam Canggong yang bisa menciptakan anak dari kitab. Dari babasan sekarang menjadi satuduh metu saucap nyata yang bemakna sama.

téka ngeungkeuy ngabandaleuy (PRR: 961) = menunjukkan rombongan orang banyak yang beriring-iringan. Dalam babasan paribasa sekarang ngaleut ngeungkeu ngabandaleut, ngembat-ngembat nyatang pinang. Dalam bahasa Sunda kuna kata ngabandaleut diakhiri oleh suara /y/ buka suara /t/. Sepertinya perbedaan kedua bunyi ini lebih dikarenakan kemiripan aksara, bukan karena fonologis.

– hunyur mandé gunung, cécéndét mandé kiara (KUS: 292) = orang yang jelek perilakunya, tetapi merasa paling benar. Dalam babasan Sunda sekarang maknanya sedikit bergeser, lebih mengarah pada arti sosial, orang miskin yang ingin menandingi orang kaya.

– beureum beungeut mirah dada (PRR: 1240) = menunjukkan mau sambil marah yang sangat besar. Yang merasa malu wajahnya suka terlihat merah, sedangkan orang yang marah dadanya terasa panas sampai kemerahan. Sekarang yang dikenali yaitu beureum beungeut, sedangkan mirah dada-nya rasanya tidak terdengar.

Terakhir, ada babasan dan paribasa Sunda kuna yang sekarang sudah tidak dikenali lagi, misalnya:

ron payung ngawastu gunung, saur manuk sabda tunggal (PRR: 264). Ron artinya daun. Ron payung mungkin sepertinya daun yang bentuknya seperti payung. Daun-daun itu karena jumlahnya banyak sehingga terkumpul sampai menjadi gunung. Saur manuk juga menunjukkan suara yang banyak sampai seperti sabda tunggal (satu suara). Diucapkan dalam musyawarah untuk memutuskan suatu perkara. Babasan dan paribasa ini sudah tidak digunakan saat ini. Kerennya, disebut musyawarah mufakat.

– kocop kadi rano bawa, kadi pucuk tinujahkeun, ser geteng kayaning méga, kaburu ku déning angin (PRR: 777) = karena sangat cepat dan ringan, seperti riak di telaga, seperti pucuk yang dilemparkan, seperti awan yang tertiup angin. Dalam PRR, babasan ini digunakan untuk menggambarkan Manabaya dan Patih Sombali yang cepat-cepat ingin melihat kuburan Manondari dan Rawana, ibu-ayahnya Manabaya.

nyaeur bitan limus haseum, gampar bitan kondang hampa (PRR: 921-922) = memperlihatkan keadaan yang sangat banyak. Dalam kisah, ungkapan ini menggambarkan bergelimapngannya jasad para prajurit yang membela Manabaya, putra Rawana.

– hiur hulun tan kasuruh, réa rama tan katitah (PRR: 1289-1290) = menunjukkan keadaan tenteramnya kerajaan atau negara, sehingga para pegawai pemerintahan banyak yang menganggur tidak ada kerjaan karena tidak ada permasalahan.

– gumilap mangabar-abar, murug muncar pakatonan (PRR: 1517-1518) = keadaan terangnya cahaya, gebyarnya pemandangan. Dalam PRR digunakan untuk menggambarkan kesaktian Prebu Manabaya yang membuat silau musuh-musuhnya. Bandingkan dengan kata dalam bahasa Sunda sekarang murub.

– leutik ti siki sasawi, samar manan tapak kumbang (SA: 273-274) = ukurannya sangat kecil dan hampir tidak terlihat.

– bitan manik inisuhan (SA: 291-292) = keadaan yang bersih, ibarat ratna yang diasah. Biasanya diterapkan kepada pikiran atau hati yang suci.

– mangka cicing bétan candi, mangka meneng bétan batu, santosa bétan hareca (SA: 321-323) = diam tidak berkata-kata.

– hurung manan béntang timur, mabar manan supa lumar, bétan bulan ngagantaran, bétan téja sabijilna, bétan kilat matak hujan (SA 648-653) = menunjukkan keadaan yang terang.

– eundeur nu ceurik sadalem, séok nu ceurik sajero (BM: 8-9) = menunjukkan perkara yang membuat geger.

– leumpang sacendung kaén (BM: 36) = berjalan jauh sambil tidak membawa apa-apa.

– angkat sabumi jadi manik sakurungan (CP: 1) = orang yang menikah, membangun rumah tangga.

– beurang kapilis ku wengi, caang kapurug ku hujan (SD: 14) = tidak ada yang abadi, maknanya sama dengan paribasa sekarang hujan gé aya raatna.

Babasan dan paribasa Sunda kuna, selain menunjukkan kemahiran orang Sunda zaman dulu dalam mengungkapkan pikiran dan perasaan secara efektif dan estetis, juga menjadi bukti kekayaan batin leluhur kita.

Artikel ini diterjemahkan dari bahasa Sunda ke dalam bahasa Indonesia oleh Ilham Nurwansah.

Author Avatar
Aditia Gunawan

Pustakawan dan kurator naskah di Perpustakaan Nasional (Perpusnas). Fokus penelitiannya adalah teks-teks Sunda Kuno & Jawa Kuno. Menyelesaikan studi master di bidang teks dan linguistik di Institut National des Langues et Civilisations Orientales (INALCO, Paris) (2016). Saat ini sedang studi S-3 di École Pratique des Hautes Etudes (EPHE, Paris) dalam rangka proyek DHARMA dengan beasiswa dari EFEO Paris.

Suka dengan konten Aditia Gunawan ? Kamu bisa memberikan dukungan dengan mentraktir kopi atau bagikan konten ini di media sosial.

0 comments and 0 replies

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *