Oleh Ilham Nurwansah
Pengetahuan orang Sunda terhadap berbagai jenis logam pada
masa kuna tampaknya telah cukup berkembang. Bukti tekstualnya tersurat pada
naskah-naskah Sunda kuna yang bertarikh sekitar abad ke-15 hingga abad ke-17 Masehi.
Pada zaman itu logam telah dipakai secara luas untuk berbagai keperluan, di
antaranya sebagai senjata, perkakas, struktur bangunan dan ornamennya,
perabotan, hingga alat dan alas tulis. Beberapa jenis logam yang tercatat dalam
teks Sunda kuna antara lain emas (omas),
perak (salaka, kanaka, pirak), besi (wesi, beusi), baja (waja, cundiga), tembaga, tembaga, timah, dan perunggu (gangsa). Di dalam teks didapatkan pula
keterangan lainnya yang berkaitan dengan logam serta konteks penggunaannya.
Emas dan perak dianggap sebagai logam mulia, serta umumnya
digunakan sebagai perhiasan. Keduanya diumpamakan sebagai jiwa (atma) yang
mulia, sehingga bila tercampur oleh logam lainnya (tembaga dan timah), maka
nilai kemuliaannya akan hilang. Perumpamaan demikian tercantum dalam Sanghyang Swawarcinta (SSC), “sanghiyang atma papa kalésa, les hilang na
drebiya, mas kanaka jati rupa,
kacorok ku tambaga lawan timah.”
Adapun dalam Sanghyang
Siksa Kandang Karesian (SSKK), emas merupakan simbol kejujuran ucapan, sedangkan
perak diumpamakan sebagai budi baik, demikianlah disebutkan “mas ma
ngaranya sabda tuhu tepet byakta panca aksara, pirak ma ngaranya ambek
kreta yogya rahayu.” Pada teks tersebut emas juga diumpamakan sebagai wujud
ketaatan terhadap ajaran Sanghyang Siksa. Disebutkan bahwa jika emas senantiasa
dipoles, dipelihara (dilanja), maka
rupanya akan berkilau (pelek rupanya).
Begitu pula dengan manusia, jika jiwanya senantiasa dipoles dengan ajaran
kebenaran dan kebaikan, maka dia akan menemukan pencerahan, serta penuh dengan
ketenangan.
Dalam teks Sewaka Darma
(SD) perak merupakan unsur logam utama tempat tinggal Batara Isora, letaknya di
timur. Tempat itu disebut Kahyangan Pirak
Putih. Tiangnya perak berukir, atapnya dari perak cina dan perak malaka,
sedangkan dindingnya dari perak keling. Bangunan ini pula yang disebutkan dalam
teks Sri Ajnyana (SA), yaitu ketika
sang Sri Ajnyana pergi dari Kadaton
Pancamirah di kahyangan, tersebutlah kesaksiannya mengenai bangunan itu, “sadiri aing ti inya, milang-milang
kasorgaan, jeueung aing tebéh wétan méru ditihang salaka, dipiwaton pirak cina, dideudeul ku beusi keling, saréna salaka keling, dijeujeutan omas ngora, imah maneuh dikarancang …”. ‘ketika
aku pergi dari sana, melalui kesurgawian, aku melihat ke arah timur, puncak
bertiang perak, bertabur perak cina, dihiasi besi keling, tempat tidur perak
keling, ditambah dengan emas muda, tempat tinggal berlubang-lubang.
Selain tempat tinggal Batara Isora yang menggunakan bahan
logam, tempat tinggal Batara Wisnu juga dihiasi dengan berbagai logam jenis
besi. Tempatnya itu disebut Kahyangan
Miru Hireng, berada di arah utara. Tiangnya besi berukir, atapnya besi
cina, lantainya besi malela, dindingnya besi kuning, dan puncak atapnya besi
panamar (pamor?). Demikian yang disebutkan dalam teks SD. Sedangkan dalam teks
SA, tempat itu pun disaksikan oleh sang Sri Ajnyana ketika ia berada di kahiangan,
“nyorang aing ngalérkeun, aya méru
tumpang telu, ditihangan ku maléla,
dihateupan tunjung putih,
didadampar beusi cina, dikikitir
purasani, dasaréan ojar rati, dideudeul ku beusi kuning, dihotob ku beusi pamor, imah maneuh dikarancang.”
‘aku pergi ke utara, ada puncak bertumpang tiga, bertiang malela, beratapkan
tunjung putih, berlantai besi cina, kikitir
besi persani, tempat tidur ojar rati, dihias oleh besi kuning, beratap besi pamor, tempat tinggal
berlubang-lubang.
Arsitektur surgawi lainnya berbahan
dasar logam yang tergambarkan dalam teks SD, berada di jalan untuk jiwa yang
akan menuju ke dalam tahap moksa. Disebutkan bagian-bagian atas bangunan, “lamun
barta ditihang beusi, ditelar ku
purasani, dipamikulan ku maléla, dilayeusan téja putih, diwilahan tambaga sukla, dihateupan ku salaka, dituruban ku pirak kapas. Sedangkan bagian bawah bangunan
dihias dengan emas kolot, ditambah
dengan panamar (pamor?), dihiasi emas
muda, dan alas tiang menggunakan cundiga.
Beberapa jenis logam digunakan pula
sebagai bahan alas tulis. Misalnya disebutkan dalam sanghyang Sasana Maha Guru (SSMG) terdapat lima jenis logam untuk
tujuan tersebut, yaitu emas, perak, tembaga, baja (cundiga) dan besi, “sastra munggu dina omas, sastra munggu ring salaka,
sastra munggu ring tambaga,
sastra munggu ring cundiga,
sastra munggu ring beusi.” Dalam teks SSMG dijelaskan lebih lengkap
bahwa tulisan pada emas disebut premita
mirah kancana, tulisan pada perak disebut kanaka, tulisan pada tembaga disebut paripih, tulisan pada baja disebut preka, sedangkan tulisan pada besi disebut gotraka.
(Paripih, Prasasti Kabantenan, foto: Leiden Library)
(Tulisan pada emas ditemukan di Candi Balandongan Batujaya, foto: BPCB Banten)
Teknologi pengolahan logam untuk
digunakan sebagai senjata pada masa Sunda kuna pun tampak telah berkembang
dengan serius. Dalam teks SSKK yang ditulis tahun 1519 M, disebutkan berbagai
jenis senjata (gagaman) berbahan baku
logam (teteupaan) yang dibuat oleh
pandai. Berdasarkan teks SSKK senjata dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu
senjata untuk prabu, petani dan pandita.
Pertama, senjata Sang Prabu yaitu pedang, pamuk, golok péso teundeut, keris, serta yang dianggap sebagai dewanya yaitu (keris) raksasa. Senjata tesebut dikatakan sebagai alat untuk membunuh. Hal ini selaras dengan informasi dalam Carita Parahiyangan (CP), yang di dalamnya disebutkan beberapa kali perang (diprangrang) atau penyerangan ke beberapa wilayah Sunda maupun di luar wilayah Sunda, bahkan hingga ke Melayu. Bukan tak mungkin senjata-senjata yang disebutkan dalam SSKK dibawa juga ke medan peperangan. Adapun dalam Bujangga Manik disebutkan juga senjata keris, yaitu “keris maléla sapucuk”, yang kemungkinan besar memiliki pertalian erat dengan sebutan “keris rusa maléla” dalam SD.
Kedua, senjata untuk petani,
yaitu kujang, baliung, patik, koréd, péso sadap dan yang dianggap sebagai dewanya yaitu detya, karena digunakan
untuk mengambil segala macam yang bisa dikecap dan diminum. Senjata atau
perkakas tersebut dipakai dalam berbagai kegiatan bertani dan berkebun, di
ladang, sawah atau hutan di sekitar pemukiman. Sehubungan dengan
macam-macam pekerjaan di kebun, terdapat aturan yang disebutkan dalam SSKK.
Segala macam yang diurus di kebun, huma, atau hutang oleh orang lain, tidak
boleh diganggu, sebab akan menjadi keburukan dan dosa.
Ketiga, senjata sang pandita,
yaitu kala katri, péso raut, péso
dongdang, pangot, dan pakisi.
Sebagai dewanya yaitu danawa, sebab
digunakan untuk mengerat segala rupa. Salah satu alat peninggalan pandita pada
masa lalu, yaitu pisau pangot masih
dapat ditemukan di situs Kabuyutan Ciburuy, Garut. Alat ini disimpan dalam
salah satu peti yang berisi puluhan keropak naskah lontar dan gebang Sunda
kuna.
(Péso pangot di Kabuyutan Ciburuy – foto: Hady Prastya)
Pandai (panday/pande) adalah sebutan umum untuk juru
tempa logam. Dalam Amanat Galunggung disebutkan
bahwa terdapat pekerjaan pandai besi dan pandai emas. Selain pandai emas,
pandai-pandai lainnya disebutkan pula dalam SSKK, yaitu pandé dang (pedang?), pandé
geulang, dan pandé beusi. Semuanya merupakan pekerjaan yang baik untuk ditiru (éta kéhna turutaneun). Dalam SSMG
terdapat sebutan khusus untuk pandai gelang, yaitu samaya guna, pandai emas sipta
guna dan pandai besi wesi guna.
Di samping pekerjaan pandai,
dalam SSKK disebutkan profesi pembuat gamelan, yang ditafsirkan dari kata gending oleh saleh Danasasmita dkk.
(1987). Keterangan ini menjadi petunjuk keberadaan alat musik yang terbuat dari
bahan logam. Setelah pembacaan lebih dalam terhadap beberapa teks Sunda kuna,
ditemukan penyebutan alat musik gangsa,
goong, titil, canang dan céngcéng.
Kata gangsa dalam bahasa Jawa Kuna berasal dari bahasa Sanskerta kaṅśa yang
diartikan oleh Zoetmulder & Robson (2016) sebagai ‘lonceng logam’, serta
oleh Jonathan Rigg (1862) & Coolsma (1913) disebutkan lebih rinci sebagai
‘lonceng perunggu’. Hingga saat ini pengetahuan terhadap bahan campuran
perunggu sebagai bahan dasar gamelan masih dipakai dalam tradisi Sunda, Jawa
dan Bali. Komposisi campuran perunggu umumnya berupa sepuluh bagian tembaga dan
tiga bagian timah, tetapi resep campuran yang tepat tetap merupakan rahasia
para pandai gamelan. Adapun Ajip Rosidi dalam Ensiklopedi Sunda (2000) berpendapat bahwa jika kandungan rajasa
(timah) terlalu banyak, maka perunggu yang dihasilkan menjadi lebih
keputih-putihan, tetapi jika tembaganya terlalu banyak, maka perunggu yang
dihasilkan bewarna lebih kemerah-merahan.
Dalam teks Sunda kuna juga
terdapat informasi perabot kuali besi (kawali
beusi) yang menjadi salah satu benda untuk dipersembahkan (hadiah), di samping benda lainnya
seperti kain, beras dan kerbau.
Demikianlah yang disebutkan dalam CP ketika Sang Wulan, Sang Tumanggal, Sang
Pandawa di Kuningan disuruh oleh Batara Dangiyang Guru untuk menemui Rahiyang
Sanjaya di Galuh. Perabot lain berupa waja
hijo digunakan pula sebagai hadiah kiriman (pakirim) beserta bahan-bahan untuk menyepah (seupaheun) seperti disebutkan dalam teks Kala Purbaka.
Fungsi lain dari logam besi yaitu
sebagai bahan jeruji penjara. Dikisahkan dalam CP ketika Rahiyang Tamperan
dimasukkan ke dalam penjara besi (panjara
wesi) oleh Sang Manarah, kemudian datanglah Rahinyang Banga sambil menangis
tersedu-sedu, kemudian ia membawakan nasi ke dalam penjara itu. Adapun dalam SSC
terdapat adegan jeruji besi (ruji beusi)
yang dibawa oleh burung gagak untuk mengurung arwah manusia, setelah mengalami
penyiksaan dalam kawah neraka selama 1.100 tahun. Itulah gambaran hukuman
akibat perbuatan dosa manusia selama di dunia (kéna gilek twahna, basa di madiyapada).
Demikian secercah gambaran
pengetahuan logam pada zaman Sunda kuna. Berbagai pekerjaan yang berkaitan
dengan pembuatan perkakas atau perabot logam di daerah Sunda saat ini, niscaya
merupakan kelanjutan dari tradisi yang telah ada dan berkembang sejak dahulu.
Luang
wuwuhan, leuwih sudaan. Pun.