L 412 Peti 15 koleksi Perpusnas RI (foto: Ilham Nurwansah, cc-by-sa 4.0)
Oleh: Ilham Nurwansah
Analisis
dan Pembahasan
Di antara sedikit naskah Sunda kuna yang menggunakan media bambu sebagai alas tulis, terdapat naskah kode L 412 yang disimpan dalam peti 15 koleksi Perpustakaan Nasional RI. Bilahan bambu berwarna coklat, dengan dimensi panjang 21,5 cm dan lebar 3 cm. Pada sisi bagian dalam bambu ditempel stiker berukuran 5,4 x 3 cm bertuliskan 412 Esmu Paganan dan angka 412 berwarna putih sebagai penanda kode naskah.
Tulisan diterakan dalam dua
baris. Di atas baris pertama tampak tiga aksara Jawa: ya ha wa yang tidak dihitamkan. Di tepi kiri bagian atas terdapat
aksara Sunda kuna ha na ha, walaupun
aksara na tampaknya kekurangan satu
garis horizontal di bagian atas. Tanda pada
atau pembuka tulisan dibuat tidak rapi, mungkin karena jenis media bambu cukup sulit
untuk ditulisi.
Model aksara yang digunakan
adalah askara Sunda kuna. Bentuknya sangat mirip dengan aksara pada naskah Sang Hyang Jati Maha Pitutur (bambu), Carita Ratu Pakuan (lontar), Kawih Pangeuyeukan (lontar), Carita Waruga Guru (daluang), dan Wirid Nur Muhammad (daluang). Seperti
halnya naskah Carita Ratu Pakuan yang
dalam bagian kolofonnya disebutkan penulis (atau penyalin) bernama Kai Raga,
naskah-naskah dengan model aksara Sunda kuna yang disebutkan di atas diduga
ditulis atau disalin juga oleh orang yang sama (bandingkan Suprianto, 2014).
Salah satu ciri khas penulisan aksara
Sunda kuna pada naskah ini yaitu aksara vokal mandiri É yang menggunakan aksara A
ditambah panéléng (taling). Kasus
penulisan demikian mirip dengan tipografi pada
naskah Kawih Pangeuyeukan (Ruhimat, Gunawan, & Wartini, 2014).
Aksara vokal mandiri é dalam “ésmu”.
Bahasa yang digunakan untuk
menulis teks yaitu bahasa Jawa (baru?), seperti halnya naskah Pakéling (Wartini
et. al., 2010). Judul yang
terdapat dalam label yaitu Esmu Paganan,
demikian juga dalam katalog, namun seteleh dilakukan pembacaan seksama, kata yang tertera dalam teks yaitu “ésmu aanom”. Isi naskah ini semacam
mantra atau aji untuk membuat paras
wajah menjadi muda[1].
Ciri-ciri penggunaan aksara, bahasa, dan media yang digunakan untuk menulis naskah ini menunjukkan karakteristik yang sangat dekat dengan naskah-naskah yang ditulis oleh atau pada masa Kai Raga. Dengan demikian diperkirakan naskah ini ditulis atau disalian pada sekitar akhir abad ke-17 atau awal abad ke-18.
Transliterasi
Diplomatis
[ha na ha]
(1) ◉ manira °amit· °al̥kas· °akәn· °esmu °a°a
(2) nom· mapa °awak· ku gana gana °aku °ala
Suntingan
Teks
◉ Manira amit alekasaken ésmu [a]anom mapa awakku gana gana aku ala.
Terjemahan
◉ hamba permisi hendak memulai paras muda, apakah badanku (ber)wujud, wujud aku buruk.
Bibliografi
- Atja. (1970). Ratu Pakuan: Tjeritera Sunda-Kuno dari Lereng Gunung Tjikuraj. Bandung: Lembaga Bahasa dan Sedjarah.
- Ruhimat, M., Gunawan, A., & Wartini, T. (2014). Kawih Pangeuyeukan: Tenun dalam Puisi Sunda Kuna dan Teks-teks Lainnya. Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia bekerjasama dengan Pusat Studi Sunda.
- Suprianto, A. A. (2014). Wirid Nur Muhammad Unsur-unsur Keislaman dalam Naskah Sunda Kuno Karya Kai Raga: Kajiab Filologi dan Analisis Isi. Universitas Padjadjaran, Bandung.
- Tien Wartini, Ruhaliah, Rahmat Sopian, & Aditia Gunawan (Ed.). (2010). Tutur Bwana dan Empat Mantra Sunda Kuna. Jakarta: Kerjasama Perpustakaan Nasional RI dan Pusat Studi Sunda.
[1] Saya mengucapkan terima kasih kepada
Tarka Sutamiharja yang telah membantu memberikan tafsiran terhadap terjemahan teks
ini.