FGD Tempa Keris-Kujang, Pemanfaatan Daluang dan Penulisan Lontar Sunda (Dok. Disbudpar Kota Bandung)
Kairaga.com, Bandung – Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung menyelenggarakan kegiatan
Focused Discussion Group (FGD) bertema “Pelestarian dan Pengembangan Destinasi
Wisata melalui Kearifan Lokal dalam Menghadapi Era Revolusi Industri 4.0”,
Senin 9 Desember 2019 di Hotel Papandayan, Kota Bandung.
Narasumber yang berbagi pengalaman dan ilmu dalam acara ini yaitu Dr. Tedi Permadi, M.Hum. ahli kertas tradisional daluang, Ibnu Pratomo seniman tempa dari komunitas Pijar, dan Ilham Nurwansah penyalin naskah lontar Sunda dari Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa). Dipandu oleh Pandu Radea, pegiat komunitas Tapak Karuhun Galuh. Peserta yang diundang antara lain terdiri dari perwakilan institusi Pendidikan tinggi, dinas-dinas terkait, praktisi seniman dan pihak-pihak yang memiliki perhatian khusus terhadap pengembangan wisata dan kearifan lokal.
Baca juga: Workshop Penyalinan Lontar Sunda Kuno Festival Naskah Nusantara IV
Agenda ini merupakan upaya yang dilakukan oleh Disbudpar Kota Bandung untuk mendiskusikan gagasan-gagasan pengembangan potensi kearifan lokal yang ada di Kota Bandung agar memiliki nilai lebih dalam aspek pariwisata. “Potensi wisata alam di Bandung tidak banyak, karena itu potensi kearifan lokal budaya harus dikembangkan dan didukung agar menjadi destinasi wisata unggulan di Kota Bandung.” demikian ujar Kepala Disbudpar Kota Bandung, Kania Sari.
Dalam pemaparan Ibnu Pratomo mengenai seni tempa keris dan kujang yang saat ini dilakukan oleh komunitas Pijar yang ia dirikan, terlihat upaya yang berkesinambungan dari mulai meneliti aspek kesejarahan, teknik pembuatan dengan nilai-nilai tradisinya. Selain membuat pusaka sebagai masterpiece tempa, yang terpenting adalah memberikan edukasi kepada generasi muda saat ini agar lebih mengenal seni tempa.
Ilham Nurwansah memaparkan upaya penyalinan kembali naskah-naskah lontar Sunda kuno yang tradisinya telah punah lebih dari 300 tahun. Dengan masih tersimpannya memori kolektif berupa ungkapan dalam tradisi lisan, dan keberadaan artefak lontar Sunda kuno, penyalinan kembali dapat direkonstruksi dengan mengadaptasi teknik dari tradisi serumpun dan intuisi.
Baca Juga: Workshop Pelestarian Bahan Pustaka, Perpusnas RI
Dr. Tedi Permadi menutup pemaparan dengan menyampaikan upayanya yang telah dilakukan sejak tahun 1998 merevitalisasi tradisi pembuatan kertas tradisional daluang. Kertas yang dibuat dari kulit pohon saeh ini selain dapat dimanfaatkan sebagai media penulisan naskah, juga dapat digunakan sebagai bahan alternatif cinderamata berupa karya-karya seni terapan. Potensi ini sangat bisa dikembangkan sebagai daya tarik wisata khas Kota Bandung. Ia menyatakan bahwa pengembangan potensi kearifan lokal adalah tugas kita bersama, sehingga setiap pihak yang memiliki potensi dan kepentingan diharapkan dapat saling berkomunikasi dan bekerjasama dengan baik.
FGD Tempa Keris-Kujang, Pemanfaatan Daluang dan Penulisan Lontar Sunda (Dok. Disbudpar Kota Bandung)
Setelah pemaparan, dilanjutkan dengan sesi diskusi dari beberapa orang peserta yang ditanggapi oleh para narasumber. Satu komentar yang perlu dicatat di sini adalah pernyataan dari Agus Rohe, pendiri Komunitas Iket Sunda, yang memberikan sebuah gagasan sebagai alternatif solusi. ia menyarankan kepada Disbudpar Kota Bandung dan pihak terkait untuk menyediakan sebuah pojok Sunda atau Sunda corner di hotel-hotel atau di tempat publik lainnya, di mana dapat ditampilkan karya-karya seni dan kerajinan para pelaku budaya di Kota Bandung. Dengan demikian para pelaku budaya dapat memiliki wadah untuk berekspresi yang sekaligus menambah daya tarik wisata khas. “Kami siap untuk mengisi kegiatan dan karya di Sunda corner itu,” ungkapnya.