
Bab tentang Darma Pitutur dalam Siksa Kandang Karesian (SKK) mengandung stratifikasi sumber hukum masyarakat Sunda pada masa pra-modern yang sangat menarik jika didalami. Bagian ini tidak diterjemahkan dan tidak dikomentari dalam edisi Atja dan Saleh Danasasmita (1981). Tulisan ini akan menganalisis paragraf penting ini, berdasarkan dua naskah SKK yang tersedia, yakni naskah gebang L 630 (dari edisi Atja dan Saleh Danasasmita 1981) dan naskah lontar L 624 (dari edisi Ilham Nurwansah 2019).
Dalam naskah L 630 terbaca: “lamun hayang nyaho dy agama pari agama ma, acara éléh ku adigama, adigama éléh ku gurugama, gurugama éléh ku tuhagama, tuhagama éléh ku satmata, satmata éléh ku surak loka, surak loka éléh ku nirawerah, utama janma wahéya dosa, vahéya janma utama dosa, sing sawatek agama ma, para tanda tanya.”
Naskah L 624 pada dasarnya mengandung bacaan yang sama, perbedaannya hanya menyangkut kata nirawerah dalam naskah L 630, yang dibaca wicara dalam naskah L 624. Sebelum menerjemahkan secara utuh paragraf ini, perlu kiranya memahami tiga unsur penting yang membangun paragraf, yaitu kata kunci agama pari agama, daftar tingkatan strata “agama”, dan ahli di bidang “agama” itu.
Pertama adalah kata agama pari agama yang dibaca keliru oleh Atja dan Saleh Danasasmita sebagai agama parigama (diterjemahkan menjadi ‘agama dan parigama’ seolah-olah ada dua kata yang berbeda). Kata agama berasal dari Sansekreta āgama yang mengandung beragam arti tergantung konteks, antara lain ‘penampilan, bacaan, ajaran, ilmu, pemerolehan ilmu, doktrin tradisional, teks suci, apapun yang diturunkan oleh tradisi’. Betapa luasnya pengertian kata ini, tetapi saya kira dalam konteks ini kita berbicara tentang ‘doktrin, ajaran, atau hukum’ yang bersifat praktis dalam kehidupan masyarakat. Frasa dengan unsur kata pari atau para yang diapit oleh kata dasar (x-para-x atau x-pari-x) merupakan formula yang lazim dalam teks-teks prasasti Jawa Kuno untuk merujuk jamak menyeluruh. Misalnya, frasa nusa-para-nusa dapat dimaknai ‘segala pulau’, miśra-para-miśra ‘segala pengrajin’ (lihat de Casparis 1991 Sanskrit outside India). Oleh sebab itu, frasa agama-pari-agama dapat diartikan ‘berbagai jenis ajaran, berbagai jenis hukum’.
Unsur kedua adalah jenis-jenis agama itu, dari yang terendah hingga tertinggi: acara, adigama, gurugama, tuhagama, satmata, surak loka, hingga nirawerah (berdasar naskah L 630) atau wicara (berdasar naskah L 624). Kata acara berasal dari Sansekerta ācāra, yang artinya ‘prilaku, perbuatan, sopan santun’, juga ‘kebiasaan, adat, ajaran’ (Monier William, s.v., bandingkan Zoetmulder 1982: s.v. ācāra). Dalam hal ini, kiranya acara bermakna ‘adat kebiasaan’. Di atas acara terdapat adigama, yang sering muncul dalam konteks di Jawa Kuno yang berarti ‘doktrin utama’, atau dapat dikatakan ‘kitab hukum’. Kedua dasar hukum ini, baik adat maupun aturan tekstual rupanya mendapat kedudukan paling mendasar sebagai sumber hukum.
Di atas kedua landasan ini, strata di atasnya adalah gurugama dan tuhagama, kata majemuk bersifat Sunda yang bermakna ‘ajaran guru’ dan ‘ajaran orang tua’. Dari sini kita lihat bahwa adat maupun hukum tertulis posisinya berada di bawah ajaran guru dan orang tua, yang menyiratkan kontekstualisasi hukum yang dinamis dan tidak kaku, yang lebih sesuai dengan situasi aktual masyarakatnya.
Dua jenis hukum di atasnya, satmata dan surak loka, lebih menarik lagi. Kata satmata, menurut konteks hukum, merupakan varian dari kata sanmata, yang bermakna ‘persetujuan, konsensus, penerimaan yang baik atas keinginan orang lain’ (Zoetmulder 1982: s.v. sanmata). Persetujuan ini tetap di bawah surak loka, yang berasal dari kata Sunda surak ‘suara nyaring, teriakan’ dan serapan Sansekreta loka ‘manusia, orang banyak’. Dengan demikian kita menemukan fakta menarik bahwa penyelesaian sengketa hukum diselesaikan melalui persetujuan kedua belah pihak dan keputusan menurut suara orang banyak (konsensus publik) kiranya pernah dipraktekkan di wilayah Sunda pada abad ke-15.
Sumber hukum tertinggi adalah nirawerah atau wicara. Kata nirawerah sangat mencurigakan dan tidak dapat dimengerti, karena kata ini tidak pernah muncul pada teks Sunda Kuno lain (hapax), sehingga kata wicara (dari Skt vicāra), yang bermakna ‘percakapan, diskusi, debat’ lebih masuk akal. Dalam konteks hukum seperti dalam teks-teks legal Jawa Kuno, wicara sering berarti ‘pengadilan (legal proceeding, lawsuit)’. Kata wicara yang bermakna ‘pengadilan’ atau ‘kasus’ ini juga muncul setelah periode Islam, misalnya dalam perjanjian Kesultanan Cirebon dan VOC tanggal 4 Desember 1685 M dan Kitab Hukum Raffles yang ditulis tahun 1814 (menggunakan istilah Melayu bicara, lihat Hazmirullah 2022).
Ketiga, ahli tempat bertanya tentang jenis-jenis hukum ini adalah para tanda (bukan pratanda sebagaimana dibaca Atja dan Saleh Danasasmita), yang bermakna jamak, yakni para petugas atau pejabat hukum yang disebut tanda. Dengan demikian, kata tanda dalam teks-teks Sunda Kuno kiranya perlu dimaknai salah satunya sebagai para petugas yang menyelesaikan sengketa-sengketa hukum.
Dengan demikian, maka sedikit teranglah paragraf misterius yang saya petik di atas jika diterjemahkan: “Jika kita ingin tahu tentang segala macam hukum: adat (acara) di bawah kitab hukum (adigama), kitab hukum di bawah aturan guru (gurugama), aturan guru di bawah aturan sesepuh (tuhagama), aturan sesepuh di bawah persetujuan (satmata), persetujuan di bawah kesepakatan umum (surak loka), kesepakatan umum di bawah proses pengadilan (wicara). Orang yang tinggi derajatnya, dosanya tersisih; orang yang tersisih, dosanya tinggi — segala jenis hukum, tanyalah para tanda (pejabat hukum)”.
Dari paragraf pendek ini kita bisa memahami bahwa adat dan doktrin tertulis merupakan dua sumber hukum mendasar. Jika kedua ajaran itu tidak mengakomodir persoalan konflik aktual, maka ajaran guru dan sesepuhlah yang dijadikan pegangan. Apabila sengketa menyangkut pihak-pihak di luar di tempat pendidikan atau persoalan keluarga, maka penyelesaian restoratif melalui persetujuan dua pihak (satmata) dan konsensus publik (surak loka) menjadi dijadikan acuan. Jika cara-cara ini belum menyelesaikan sengketa, maka, sebagaimana masyarakat “modern”, urang Sunda abad ke-15 mengambil jalan terakhir melalui persidangan (wicara). Tentu saja teks Siksa Kandang Karesian merupakan teks acuan, yang menggambarkan bagaimana seharusnya aturan dijalankan, belum tentu menggambarkan apakah acuan itu dijalankan pada prakteknya.